15 : Fatara "Point Of View"

148 12 1
                                    

Aku sedikit lega. Geovan tidak marah saat aku berkata akan mengembalikan kamera yang ku pinjam minggu depan. Masalahnya aku merusakkan kamera berharga puluhan juta itu karena kecerobohanku. Sangat tidak bertanggung jawab, namun lelaki itu tak mempermasalahkannya. Hanya saja entah mengapa akhir-akhir ini Geovan seperti mendiamkanku.

Tidak masalah sebenarnya, tidak peduli juga dan malah senang karena dia tidak menyuruhku ini itu ataupun mengomel tidak jelas atas semua kegiatan yang kulakukan. Memang benar, setelah hubungan membaik, kami justru sering bertengkar mulai dari masalah kecil hingga masalah yang besar. Kali ini cukup aneh karena bukan sehari dua hari saja kami tidak berkomunikasi.

Hampir satu bulan! Padahal biasanya kami akan berbaikan dengan sendirinya. Masalahnya, aku merasa tidak pernah bertengkar atau membuat masalah dengan lelaki itu sebelum ini, namun mengapa ia berubah menjadi pendiam?

Jadi setelah memutuskan untuk mengesampingkan perasaan, aku pun mendatanginya untuk berbicara.

"Gue minta maaf” ucapku saat kami berpapasan di tangga. Meminta maaf tanpa mengetahui kesalahanku.

Geovan tampak menaikkan alisnya, bingung. “Kenapa minta maaf?” tanyanya.

"Nggak tahan lihat lo diam” ucapku tanpa sadar. “Akhir-akhir ini nggak tahu kenapa gue merasa lo berubah”

Lelaki itu terdiam menatapku dengan wajah datarnya, hendak mengatakan sesuatu namun urung. Aku memperhatikannya.
“Memang lagi nggak kepengen ngobrol” katanya kemudian melewatiku begitu saja.

Aku tak menyerah begitu saja untuk mendapat penjelasan, berlanjut mengikutinya sampai di depan kamar. Ketika lelaki itu masuk, aku menyelonong tanpa peduli di izinkan atau tidak. Geovan tampak jengah saat melihatku terdiam di depan pintu. Ia meraih sesuatu di meja belajar dan membawanya, mengulurkan sebuah dokumen kepadaku.

Map berwarna cokelat. Aku menerimanya, kami tak saling mengucap sepatah kata pun. Aku membukanya dan mulai membaca baris pertama dalam dokumen itu. Membaca isi nya dengan seksama.

----------

Semalam aku tidak bisa tidur. Mataku sembab dan kepalaku sangat pusing.

Aku mengerti. Sangat mengerti.

Semua ini memang salahku.

Aku adalah salah satu penyebab kacaunya kehidupan lelaki itu dan aku tetap diam. Seolah menikmati semuanya.

Geovan selalu berusaha terlihat baik-baik saja walaupun terkadang ia melontarkan kata atau kalimat yang kasar dan menyakitkan, aku tak masalah, sudah terbiasa dan memakluminya. Meski seperti itu tak jarang lelaki itu menunjukkan perhatian kecil untukku.

Kami cukup berteman baik.

Pernah satu waktu aku bertanya hal paling konyol kepadanya.

"Ge, kalau nanti misal,” aku menekankan suara. “Misal ya, kita punya anak terus mereka sedih karena orang tuanya model kita gimana? Kan kita nggak akur” entah kenapa pemikiran itu aku dapatkan saat kami sedang menonton sebuah film bersama.

"Nggak usah ngarep. Siapa juga yang mau punya anak sama lo" lelaki itu menyahut dengan sarkas.

"Jahat banget,” kataku.

"Pikiran lo kejauhan. Kasian anak gue kalau lo yang jadi ibunya"

"Nggak lah! Gue tuh bakalan jadi ibu yang keren, baik dan lemah lembut" ucapku bangga.

Geovan melirik cuek kembali fokus menonton. “Mustahil,” katanya meremehkan.

"Terus siapa kalau bukan gue?"

"Nggak usah punya anak, childfree aja.  Lo sendiri tadi yang bilang kan kita nggak akur"

Jujur saja waktu itu aku sedikit kesal tapi entah mengapa dalam hati aku tersenyum senang mendengar penuturannya. Setidaknya ia masih membayangkan masa depannya bersamaku. Tanpa sadar aku lebih sering membayangkan hidup menua bersamanya. Aku bahkan sering mempertanyakan.

Apakah bisa kita hidup bersama tanpa saling mencintai? Namun ketika melihat baris tulisan di kertas yang tengah ku genggam rasanya sangat tidak pantas untukku memikirkan masa depan sebaik itu.

Sampai kapanpun ia tidak akan lupa bahwa aku adalah sumber masalah terbesar dalam hidupnya.

----------

singkat dulu

Continue

We Are A Couple (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang