13 : Setitik Khawatir

175 13 3
                                    

Tidak tahu tempat dan tak bisa mengendalikan emosi, kedua renaja tersebut kalap.

Gandi, Wira dan Rega kaget melihat kedua temannya kesetanan, kemudian berusaha memisahkan. Keadaan di depan UGD menjadi lebih kacau sampai tiba-tiba sebuah bogeman tangan mendarat di pipi Geovan menyadarkan lelaki itu karena lebih dominan dalam menghajar Satria.

"Sadar tolol!" Rega berseru kencang mencengkram kerah pakaian lelaki itu sedangkan Gandi dan Wira membantu Satria berdiri.

"Lo berdua ngapain goblok. Rumah sakit ini anjir lah" Gandi ikut menyahut.

Geovan dengan mata yang masih memerah dan rahang mengeras menahan amarah kembali mengumpat pelan.

"Bilang ke orang sialan itu," tunjuknya pada Satria. "Mulut sampah nya suruh jaga sebelum gue hancurkan sampai nggak bisa bicara" ucapnya memperingatkan.

Beberapa orang yang melihat kejadian itu mulai membubarkan diri menyisakan kelima remaja yang masih berusaha menenangkan diri dam saling menasehati.

"Tenang bro. Duduk dulu," Wira menggiring Satria untuk duduk di bangku rumah sakit yang di sediakan.

"Gue tahu lo lagi kalut, tapi bukan berarti elo bisa menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi sama Syifa. Kita semua nggak ada yang tahu kapan datangnya musibah" ujarnya.

"Bener, terlebih lagi menyalahkan Rara. Bukannya itu cewek sahabat lo? Sahabatnya Syifa juga, nggak mungkin juga mau kejadian ini terjadi kan?," Gandi ikut menyahuti.

"Kasihan udah setiap hari lo contekin, masa dengan gampang lo menyalahkan dia"

Satria menjambak rambutnya meluapkan kekesalan atas sikap bodohnya. Sesaat ia lupa Rara juga orang penting untuknya. Egois karena menyalahkan gadis itu padahal ia sendiri yang tidak becus menjaga kekasihnya.

"Sorry," ia berucap lirih. "Gue yang bodoh karena nggak bisa menjaga Syifa dengan benar. Gue memang brengsek"

Satu kesalahpahaman berhasil menemukan titik terangnya, sekarang mereka beralih pada Geovan yang masih tak bersuara. Selanjutnya Rega mengisyaratkan sesuatu pada yang lain, mereka mengangguk mempersilahkan.

"Lo sendiri ada masalah apa? Nggak biasanya sampai nggak bisa mengendalikan diri begini. Minimal lo bisa menasehati si Bangsat itu terlebih dahulu, bukan malah main langsung hajar," Rega mempertanyakan sikap lelaki itu yang tak seperti biasanya.

Geovan adalah orang yang paling netral di antara yang lain. Lelaki itu akan memberikan segudang solusi sebelum memulai perkelahian. Berkelahi adalah opsi terakhir jika masalah sudah tak menemukan titik tengahnya, begitulah prinsipnya. Tak jarang Geovan bahkan berhasil menenangkan emosi teman-temannya ketika mereka tengah menghadapi masalah dengan kondisi berapi-api.

"Bukan urusan lo," lelaki itu menjawab sekenanya masih dengan raut kesal yang tergambar jelas di wajahnya.

"Jangan di ulangi lagi," ujar Rega.

Setelah mengatakan itu suasana menjadi hening. Tidak ada yang mau berbicara lagi. Mereka menutup mulut rapat-rapat tanpa mau membahas kembali masalah ini.

Pintu unit gawat darurat terbuka, menampilkan seorang gadis dengan seragam putih abunya yang kusut dan wajah pucat serta muka sembab bekas menangis. Semua menoleh memperhatikan penampilannya.
Gadis itu mulai menyadari kedatangan mereka dan memusatkan perhatiannya pada satu diantaranya.

We Are A Couple (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang