Rara dengan susah payah mengganti bed cover miliknya, membawanya ke tempat cucian di bawah meski kesusahan karena beratnya sudah seperti membawa bocah berumur sepuluh tahun. Saat kembali ke kamar ia di kagetkan dengan seseorang yang tertidur di kasur miliknya dengan satu lengan menutup sebagian wajah.
Kasurnya jelas haram untuk ditiduri oleh lelaki dan jangankan tidur di kasur, ada seorang lelaki masuk ke kamarnya saja tidak pernah dan tidak akan ia izinkan. Rara tidak suka ruangan pribadinya terkontaminasi dengan orang lain. Kamarnya ekslusif. Berlebihan.
"Kok disini," ucap gadis itu dengan menekuk wajah yang sebelumnya sudah tampak kusut.
"Berkunjung sekalian titip ini," balas Geovan dengan tangan menyodorkan sebuah buku tulis miliknya. "Pintunya udah kebuka jadi gue langsung masuk, sorry" ucapnya kemudian.
Rara mengangguk meraihnya kemudian memasukkan ke dalam tas sekolah yang akan ia bawa besok.
"Sudah kan?" tanyanya ingin cepat memastikan urusan lelaki itu selesai dan segera meninggalkannya.
Geovan mengangguk namun tak segera beranjak. Lama mereka diam pada posisi masing-masing sebelum dering ponsel memecah keheningan.
Rara meraih dan mengangkat menggeser ke atas tombol hijau yang menyala-nyala, menampilkan nama Alvino.
"Halo,"
"Halo Ra, bisa minta tolong kirimkan proposal Bhakti Festival 25 tahun lalu ke Sekbid 8 sekarang? Katanya nomor lo susah di hubungi," pinta seseorang di luar sana.
"Sudah gue kirim barusan, belum di cek kali," katanya kemudian segera membuka laptop untuk mengecek apakah email yang ia kirim sudah tersampaikan.
"Belum masuk, katanya"
Rara menggersah saat laptop miliknya tak kunjung menyala. Seingatnya tadi sebelum bebersih kamar masih berfungsi dengan baik.
"Sebentar," katanya mengapit ponsel pada di antara telinga dan bahu kemudian ribut sendiri memencet beberapa keyboard laptop namun tak menunjukkan hasil apapun.
"Kayaknya laptop gue bermasalah," ia menggersah lelah. Sudah malam dan ada saja kejadian buruk yang menimpanya. "Habis ini tak carikan dulu file nya di hp, kalau ada nanti gue kirim secepatnya,"
"Iya udah, sorry merepotkan. Gue tutup dulu, besok pagi jangan lupa kita ada rapat seluruh panitia Bhakti Festival 26. Langsung ke ruang Osis aja nggak usah ke kelas," ingat lelaki itu yang tak lain adalah ketua organisasinya.
"Bukannya di undur jadi online ya besok sore?"
"Nggak jadi, yang daftar sedikit. Lebih efisien bertemu langsung,"
"Pagi banget?"
"Lebih cepat lebih baik, supaya bisa segera kembali ke kelas,"
"Iya,"
"Ya sudah gue tutup, selamat beristirahat."
Rara meletakkan ponselnya di meja kemudian tersadar jika ia tak hanya sendiri di dalam kamar, atensinya beralih pada seorang lelaki yang duduk di atas ranjangnya, kemudian bangkit dan mulai mendekat.
"Kenapa?" tanya lelaki itu saat sudah berada di hadapannya untuk membungkuk dan mengecek kondisi benda persegi panjang berukuran empat belas inch tersebut.
"Nggak tahu, kayaknya rusak," Rara menghela. "Mana di dalamnya banyak file penting." katanya kemudian.
"Perlu sekarang banget?"
"Iya, ada yang perlu di kirim,"
"Pakai laptop gue dulu kalau gituz"
"Bisa? File nya di sini," gadis itu menunjuk pada barang malangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are A Couple (Complete)
Teen FictionGeovan tidak pernah mengira jalan hidupnya yang mulus menjadi terjal sejak berbagi ikatan dengan seorang gadis bernama Fatara di usia yang masih sangat muda. Rangkaian perjalanan membawa kita berpetualang jauh menyusuri jalan bernama takdir. Tentang...