Bab 17

8.2K 933 167
                                    

"Moza, Nak, kesayangan Ibu."

Aku menggeleng. Meringkuk di bawah sofa sambil memukuli kepala. Berharap bayangan-bayangan itu terus saja muncul dan saling menimpa satu sama lain. Teriakan dan makian itu terus menusuk telingaku, kemudian tembus sampai ke ulu hati. Rasanya sangat perih.

"Sayang, dengar Ibu." Aku merasakan sentuhan di kepala, tapi mataku tetap terpejam. Aku sangat ketakutan, akan menemukan wajah-wajah yang menatapku penuh penghakiman. Juga wajah bersimbah air mata Ibu yang tak berdaya saat melihatku berlutut bagai pesakitan. "Enam tahun lalu, Ibu sama Ayah sudah beritahu kamu. Tiap tahun, Ibu mengulang cerita yang sebenarnya. Kamu nggak salah. Kamu bukan pembunuh."

"Nggak, Bu!" Aku beringsut mundur, menjauhi Ibu yang berjongkok di depanku. "Mereka bilang aku pembunuh. Mereka bilang aku kriminal. Mereka bilang aku yang pantas menggantikan dia koma di sana!"

"Moza." Ayah mendekat, berlutut di depanku. Bersebelahan dengan Ibu yang terisak-isak. "Jangan begini, Nak. Ayah mohon."

"Ayah." Kuusap air mata yang sedari tadi tak henti mengering dari pipi. "Ayah ingat, kan? Hari itu. Malam itu di halaman rumah Kakek. Ayah ingat, kan? Ayah yang bilang kecewa sama aku. Ayah yang menyesal memiliki anak seperti aku. Di sini," kuraba pipi dengan tangan bergetar. "Sakitnya masih terasa. Waktu tangan Ayah mampir di sini. Waktu Ayah lebih terpengaruh omongan adik-adik Ayah dan nampar aku. Aku nggak pernah lupa."

"Moza ... Ayah...." Aku menangis saat melihat air mata meleleh di pipi Ayah. "Kamu ternyata belum memaafkan Ayah. Maaf. Bagaimana caranya agar kamu bisa memaafkan Ayah?"

"Momo maafin Ayah. Momo sudah bilang kan, Momo maafin Ayah. Hanya saja ... hanya, Momo nggak bisa lupa. Momo terus ingat dan nggak bisa lupa."

"Bagaimana biar kamu lupa?"

Aku menggeleng, memeluk lutut. "Nggak tahu. Momo nggak bisa amnesia. Momo nggak bisa lupain itu. Di sana, di rumah Kakek. Kalian bilang aku dorong dia. Aku bilang enggak, tapi kalian nggak percaya. Aku bilang enggak lagi tapi Ayah tampar aku. Aku bilang aku bukan pembunuh, tapi mereka bully aku di kampus. Aku bilang aku nolongin dia, tapi mereka caci maki dan lempar banyak kotoran ke aku."

"Momo, Sayang."

"Shei, Dit," aku menatap Sheila dan Dito yang matanya memerah. "Kalian percaya aku waktu itu?"

"Iya, iya aku percaya." Sheila mengangguk kuat-kuat. "Kamu tahu, aku nggak pernah meragukan kamu."

"Maaf." Dito berkata dengan suara bergetar. "Maaf, Mo. Maaf nggak ada di sana waktu kamu mengalami itu."

"Ya." Aku mengangguk. "Kalian percaya, tapi kalian nggak ada waktu aku butuh. Kalian tahu bagaimana tersiksanya aku? Di sini, kepala ini rasanya sakit banget. Mereka bilang aku pembunuh, Dit. Mereka nggak percaya aku, Shei. Mereka berkerubung kasih hukuman. Mereka nggak mau dengar aku."

Aku memukul-mukul dada. Sakit sekali. Lebih sakit dari hari dimana aku menerima semua penghakiman itu. Lebih terasa luka itu hanya dengan mengingatnya. Ketika Ayah dan semua kerabat mencaci maki. Ketika teman-teman yang kupunya tak ada yang percaya dan berujung pada bully. Ketika Ibu tak berdaya untuk membela. Ketika dua sahabatku yang selalu per percaya, tak ada d tempat. Aku merasa sendiri saat itu. Berkubang dalam kabut gelap dan terperangkap di tengah teriakan-teriakan orang.

"M-moza,"

"Kamu bilang," aku menatap Jovan yang menatapku terluka. Aku lebih terluka. "Kamu nggak sudi lihat wajahku. Kamu bilang seseorang seperti aku pantas lenyap."

"Moza, sudah." Aku makin terisak dan membiarkan Lucas menyembunyikanku di dalam dekapannya. Aku mendengar isak tangis semua orang tapi hatiku terlalu sakit. "Kamu tahu, kamu tidak salah. Kamu tidak mendorongnya. Kamu menarik dia saat itu. Kamu tidak pernah jadi pembunuh. Ayah dan Ibu sudah meminta maaf, bukan? Lupakan, Dear. Lupakan yang lalu."

"Nggak bisa, Luke. Di sini, di kepala, aku nggak bisa lupain kejadian itu. Mereka bilang aku dorong dia, jadi aku terus dorong dia setiap malam. Aku bunuh dia setiap malam sampai aku nggak pernah bisa tidur nyenyak. Aku bunuh dia ribuan kali selama delapan tahun, tapi kenapa dia bisa masih hidup?"

"Itu hanya mimpi buruk, Sayang. Tenanglah."

Aku tidak bisa menjawab lagi. Aku sangat-sangat lelah, tapi tangis itu tidak bisa berhenti. Kenapa semua orang bisa bahagia, sedangkan aku tidak? Kenapa semua orang bisa melangkah ke depan, sementara aku terus terikat dengan jerat masa lalu?

Aku ingin bebas.

***

Direpost 29 April 2022

Direpost 01 Juni 2024

Mōichido (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang