Bab 8

7.7K 707 23
                                    

Jakarta, delapan tahun lalu.

"It's okay, Mo. Sini aku obatin."

Aku bergeming. Membiarkan Ale mengobati telapak tanganku yang tergores. Tidak pernah kubayangkan akan jadi seperti ini. Aku yang hancur begini. Tiga bulan berlalu, di mana Budhe Indri dengan teganya memutus pertunanganku dengan anaknya. Masih jelas dalam ingatanku, ketika aku begitu menggila dan berteriak tak terima. Semua orang memelukku iba, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena Jojo sudah membuat keputusan. Yang untuk pertama kalinya, berani bersuara dan tak lagi mau menurut.

Kalau kalian pikir aku diam, tentu saja salah. Aku mendatangi Rumi berkali-kali, tapi gadis itu terlalu beruntung hingga mempunyai banyak teman yang selalu melindunginya. Pun, aku gagal menemukan kelemahan yang bisa membuatnya menyerah. Semua orang bahkan Sheila dan Dito memintaku untuk menyerah. Melepaskan cinta yang selama bertahun-tahun kusimpan baik-baik. Bagaimana bisa? Aku sudah sejauh ini untuk egois, kemudian harus menyerah begitu saja? Gila.

"Ini terakhir kalinya ya, Mo? Aku mohon."

Mendengar ucapan lirih Ale, aku menoleh. Dia sedang fokus membalut lukaku dengan plester. Luka yang kudapatkan karena saling serang dengan seorang teman Rumi, karena aku mendatangi gadis lemah yang bisanya menangis itu.

"Kamu nggak dapat apa-apa, dengan begini."

Sontak, kutarik tanganku dari genggamannya. Aku menyunggingkan senyum sinis. "Kenapa? Kamu takut sahabat kecilmu itu celaka?"

Ale membulatkan mata. "Bukan begitu, Mo. Aku khawatir sama–"

"Rumi," sambungku.

"Sama kamu." Ale menatapku tegas. "Kamu kacau, Mo. Merelakan Jojo adalah satu-satunya cara biar kamu bahagia. Tolong percaya aku."

Aku menggeleng, mengejek. Kusambar tas di meja, kemudian bangkit dan berjalan meninggalkan pujasera. Ale pun tak ada bedanya. Duniaku hancur dalam sekejap karena Rumi. Gadis itu mengambil alih perhatian semua orang. Bahkan Budhe menerima dia dengan baik di rumah itu. Aku benar-benar membencinya.

Sore hari, ketika berjalan tak tentu arah, aku menemukannya. Sedang duduk di halte bus sendirian. Semesta ternyata masih mau sedikit berpihak padaku. Mengeluarkan seringai, aku berjalan mendekat.

"Halo, Rumi."

Aku menahan tawa melihatnya terperanjat hingga buku yang dia pegang terjatuh di lantai halte. Karena ingin berbaik hati, aku berjongkok untuk mengambilnya. Kemudian duduk di sebelahnya dan mengembalikan buku itu.

"Te-terima kasih."

Aku tersenyum tipis. Kuamati dia yang hari ini berwajah agak pucat. Kelihatan lemas dan ... tak bertenaga. Kenapa dia? Eh, bukan urusanku. Aku tidak peduli apa yang terjadi pada dirinya.

"Maaf."

Aku menoleh. "Karena?"

"Karena Saras, tangan kamu luka." Dia menunjuk telapak tanganku.

Aku mengangguk-angguk. "Kirain karena udah jadi orang ketiga."

"M-moza." Dia menatapku gelisah. Bibirnya bergetar kecil. "A-aku...."

Dia menggantung ucapannya. Siapa yang bisa berkata-kata, setelah menjadi perebut begini bukan? Tapi ... kenapa semua orang masih saja berpihak padanya? Seolah aku yang jahat dalam kisah ini.

"Pasti kamu bahagia kan, sekarang?"

"Mo-moza."

"Gimana rasanya jadi milik Jo?" Aku tak akan membiarkannya bicara dulu. "Senang, kan? Iyalah. Dia baik banget kan sama kamu? Ngomongnya lembut gitu, kok."

Mōichido (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang