Pada akhirnya, aku pulang tanpa Lucas. Tapi juga tanpa Jovan. Sheila tadi keberatan. Dito bilang, dia akan mengantar kemana pun aku mau. Tapi aku menolak. Aku butuh untuk menikmati waktu dengan diri sendiri, tanpa orang lain. Karena itulah aku di sini sekarang. Di sebuah pasar malam yang cukup ramai.
Aku memang suka sendiri. Tapi tak membenci keramaian. Asalkan di keramaian itu tidak ada yang mengenalku. Karena ketika ingin menikmati waktu sendiri, aku tidak suka berada di dekat orang-orang yang kukenal maupun mengenalku.
Kini, aku sedang menikmati berbagai macam jajanan seperti telur gulung, sate telur puyuh, otak-otak dan sebagainya yang dijual di semacam food truck. Rasanya sudah sangat lama aku tidak menikmatinya. Di Tokyo ada tempay-tempat seperti ini, tapi yang dijual tentu saja jajanan berbeda. Bukan khas Indonesia seperti ini. Dan rasanya aku sangat merindukan makanan-makanan yang jadi favoritku saat masih anak-anak ini.
Loving can hurt, loving can hurt sometimes
Aku spontan mengangkat wajah saat mendengar suara itu. Tak jauh dari tempatku duduk, orang-orang kelihatan berkerumun. Mereka terlihat mengangguk-angguk kepala, menikmati sebuah lagu yang dilantunkan oleh entah siapa.
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel aliveWalaupun banyak orang yang makin mendekat untuk menonton, tapi aku tidak tertarik untuk mengikuti mereka. Lebih menyenangkan mendengar dari sini sambil menikmati makanan di tanganku. Lagipula aku tidak penasaran dengan wajah pengamen jalanan yang kata Sheila memang sering tampil di pasar malam. Hanya saja, suaranya memang sangat enak di telinga. Suara Dito saja kalah.
So you can keep me inside the pocket of your ripped jeans
Holding me closer 'til our eyes meet
You won't ever be alone, wait for me to come homeSejak dulu saat remaja, aku memang suka mendengarkan musik. Apalagi lagu-lagu band pop Indonesia di jaman remajaku dulu sangat bagus. Dengan mendengarkannya, aku serasa mampu menyalurkan perasaan. Dulu lagu-lagu yang kusuka tentu yang berisi tentang mengejar cinta. Mungkin karena saat itu aku mulai gencar mengejar Jovan. Hobi itu terbawa sampai aku tinggal di Tokyo. Dan bukannya lagu pop Jepang, aku tetap setia pada lagu-lagu dari negaraku sendiri. Entahlah. Mendengar lagu dengan lirik bahasa ibu rasanya lebih menyenangkan dan masuk ke hati.
And if you hurt me
That's okay baby, only words bleed
Inside these pages you just hold me
And I won't ever let you go
Wait for me to come homeTapi kenapa lagu barat ini terdengar enak juga di telinga? Ya aku juga tahu sekali sih dengan lagu ini. Dulu teman-temanku di Tokyo sering mendengarkannya, yang otomatis ikut kudengar juga. Tapi hanya seperti itu. Aku tak terlalu tertarik memahami liriknya, tidak seperti sekarang.
Love can heal, loving can mend your soul
And it's the only thing that I know, know
I swear it will get easier,
Remember that with every piece of you
Hm, and it's the only thing we take with us when we dieTapi belum juga lagu itu selesai kunikmati, aku merasa tengah diperhatikan oleh seseorang. Karena kepekaanku selalu terbukti jika menyangkut hal seperti itu, maka aku menoleh ke segala arah. Butuh beberapa detik, sebelum akhirnya aku benar-benar menemukan tatapan seseorang dari kejauhan beberapa meter di antara lalu lalang orang.
Tatapan kami bertemu. Dan detik itu juga aku membeku. Rasanya persendianku kaku seiring langkahnya yang makin mendekat. Tanganku kebas dan berkeringat—kurasa makanan yang kupegang sudah terjatuh.
"Moza?" Dia berhenti satu meter di depanku.
Aku hanya membelalakkan mata. Terasa perih, namun sangat sulit untuk berkedip. Lututku mulai gemetar.
"Moza ... kan?" Dia menatapku antara ragu, kaget dan entah apa. Dia maju selangkah lagi.
Tapi aku hanya diam. Kenangan demi kenangan di tahun-tahun awal kuliah, satu per satu berjejalan di kepalaku. Keramaian ini semakin membuatku gelisah. Bukan hanya telapak tangan, tapi sekujur tubuhku terasa dingin namun berkeringat.
"Mo? Kamu ingat aku, kan? Ini aku, Ale."
Ya, aku ingat. Siapa dia. Bagaimana kami akrab dulu. Bagaimana aku menolaknya namun dia tetap mau berteman denganku. Bagaimana dia terlihat peduli, meski tahu bahwa saat itu dia tahu bahwa pusat duniaku hanya Jovan saja. Juga bagaimana ... untuk pertama kalinya aku menerima tatapan kekecewaan darinya. Kemarahan. Juga bentakan. Aku ingat jelas ketika dia menjadi salah satu orang yang memberikan penghakiman untukku di kampus dulu. Dia ... adalah satu dari sekian orang yang merasa berhak menghukumku dengan cercaan dan makian.
"Moza?"
Dia sampai tepat di depanku. Dan aku spontan mundur, hampir tersungkur karena kaki yang goyah. Belum juga rasa kacauku mereda, aku kembali dikejutkan dengan kedatangan seorang anak kecil seumuran Keira yang memeluk kaki Ale.
"Ayah, kenapa lama banget? Mila dari tadi nungguin sama Bunda, tahu."
Ayah? Jadi ... dia sudah menjadi Ayah?
"Oh, maaf, Sayang." Ale berjongkok, menyejajarkan tinggi dengan anak kecil itu. "Bunda di mana?"
"Lagi beliin permen kapas." Aku membelalak saat anak itu menoleh, kelihatan takut-takut ke arahku. "Itu siapa, Ayah?"
Ale menoleh sekilas ke arahku sambil tersenyum, kemudian kembali menatap anak itu dan menggendongnya. "Itu temannya Ayah. Namanya Tante Moza. Ayo sapa dulu."
Anak itu menatapku, masih kelihatan ragu dan takut. Lalu dia melambaikan tangan dan berkata, "Halo, Tante. Aku Mila."
Aku tidak menjawab. Tidak juga tersenyum. Atau balas melambaikan tangan. Mataku terus tertuju pada wajah bulat anak itu, hidung mancung, bibir tipis dan rambut ikal. Tubuhku makin gemetar. Bayangan wajah seseorang di masa lalu kembali menghantuiku. Kini rasanya semakin hebat. Kacauku, gemetarku, gelisahku, dan ... takutku. Berbagai kemungkinan terus merajai otakku. Aku merasa pusing. Sangat pusing.
"Mila, kenapa Bunda ditinggal?"
Tubuhku makin menegang. Gemetar itu terasa hebat. Sosok yang terbentuk di benakku karena wajah anak perempuan kecil itu, kini telah benar-benar berdiri bersama Ale dan anaknya. Mataku berkunang. Kepalaku berdentum-dentum keras, terasa seperti dipukuli palu godam yang sangat berat.
"Mo-moza...."
Aku merasa berada di antara sadar dan tidak sadar. Inginku ini hanya dunia mimpi. Namun semua lalu lalang di sekitar terasa mengelilingiku dan sangat nyata. Rasa pusing itu menderaku, apalagi ketika wajah perempuan itu menatapku nanar dan penuh keterkejutan. Wajahnya memucat, sedang darah di sekujur tubuhku seperti tersedot. Aku merasa dingin. Gemetar, menggigil dan panas secara bersamaan. Dan pandanganku turun. Tertuju pada perutnya yang membuncit.
Aku mundur beberapa langkah. Tertatih aku berusaha menyeimbangkan tubuh agar tetap berdiri. Aku menggeleng kuat, memukul-mukul kepala yang terus saja memunculkan adegan demi adegan di masa lalu yang menjadi mimpi buruk dalam delapan tahun terakhir.
"Moza, aku–"
Aku tidak membiarkan perempuan itu selesai bicara. Yang kulakukan adalah membalikkan badan, kemudian berlari kencang berusaha lepas dari keramaian yang menyiksa karena kehadiran mereka di sana. Aku takut. Sangat takut hingga rasanya keinginan untuk lenyap itu kembali muncul setelah bertahun-tahun hilang.
Lucas, tolong. Dia masih hidup. Dia ... hidup!
***
Direpost 25 April 2022
Direpost 18 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...