Aku masih sangat ingat hari itu, ketika Rumi melangkah di derasnya air hujan. Dia berjalan menuruni pembatas jalan, dengan tatapan lurus tanpa menoleh ke kanan kiri. Aku terperangah, tepat dua langkah dia masuk ke jalan yang penuh kendaraan itu, aku bangkit. Dengan langkah cepat kususul dia. Ketika dia hampir sampai ke tengah, aku menarik lengannya. Dia menoleh terkejut, kemudian menepis tanganku dengan kuat.
"Lepas!" teriaknya.
"Kamu gila?!" Aku balas berteriak.
Dia melanjutkan langkah yang tadinya sempat kucegah, tapi aku menghadang di depannya. Kupegangi lengannya kuat-kuat.
"Kamu mau bunuh diri?"
"Iya!" Dia berteriak kembali dengan wajah basah air hujan. Aku pun sama. "Kamu bilang aku bisa mengakhiri hidup kalau merasa nggak berharga lagi kan? Terus kenapa sekarang kamu menghalangi aku? Minggir!"
"Enggak!" Aku mempererat peganganku di lengannya, dan menyeret dia hingga ke tepi. "Kamu nggak bisa menyia-nyiakan hidup seperti ini!"
"Kenapa?! Kenapa!" Teriakannya makin keras, bersahut-sahutan dengan suara lalu lalang kendaraan dan riuh rendah hujan. "Hidupku sudah sia-sia. Aku bilang, nggak ada yang bisa dihargai lagi dari hidupku. Jangan halangi aku!"
"Kamu bodoh!"
"Kamu yang bodoh!" Dia mendorongku hingga hampir terjungkal ke belakang. "Kenapa kamu halangi aku? Harusnya kamu senang, karena kalau aku mati, kamu bisa balik sama Jovan lagi. Kamu nggak akan diganggu sama aku. Kamu sendiri kan tadi yang bilang kalau aku bisa lenyap? Aku sudah merencanakan itu sejak lama dan berhubung sekarang ada pendukung, kenapa nggak sekarang aja aku lakukan?"
Aku tertawa sarkas. "Lalu masalah akan selesai, menurutmu? Terus gimana sama orang-orang yang peduli sama kamu? Gimana sama orang tua kamu?"
"SIAPA?" Dia mendorongku lagi. "Orang-orang yang kamu maksud itu siapa? Ayahku? Sudah kubilang dia nggak pernah peduli sama aku. Ibuku bahkan dengan tega meninggalkanku di dunia ini. Kakak? Aku hanya punya kakak tiri yang kerjaannya tiap hari ngotorin badanku. Siapa yang kamu maksud itu? Siapa, hah?!"
Aku terdiam. Napas kami sama-sama naik turun dan tersengal. Aku bisa melihat luka di matanya. Apalagi saat menceritakan tentang ayah dan kaksk tirinya. Hatiku terasa diremas. Dan serta merta, air mataku tumpah dengan deras.
"Bagaimana dengan Ale? Kamu pikir dia nggak akan kehilangan?" tanyaku pelan. "Dia sahabat kecilmu, kan?"
Dia tertawa kecil, meski air matanya menderas. "Iya, sahabat kecil. Hanya sahabat kecil, karena dia hanya lihat kamu. Dia jarang peka dengan semua yang kurasakan. Kalau pun aku pergi, dia nggak akan sesedih itu. Dia mau berteman denganku juga karena kasihan!"
Aku terkesiap. Dia tersenyum sambil terisak. Aku ikut terisak saat mengatakan, "Lalu Jojo? Gimana sama dia? Dia pasti akan sedih dan terluka kalau gadis kesayangannya celaka."
"Menurutmu begitu?"
"Tentu saja! Dia bahkan mengancamku dengan keras biar nggak sentuh kamu sedikit pun."
Rumi tertawa. Mula-mula pelan, sebelum terbahak seolah ada sesuatu yang sangat lucu. "Kenapa kamu begitu naif, Moza?"
Dahiku berkerut. "Apa maksud kamu?"
"Jovan peduli sama aku?" Dia tergelak lagi, meski tersendat karena isak tangis. "Iya, dia peduli sama aku. Dia baik, lembut dan sangat menghormati perempuan. Tapi kamu tahu apa sebabnya? Karena dia merasa bersalah. Karena dia merasa bertanggung jawab atas pelecehan yang aku alami pertama kalinya?"
"Maksud kamu apa? Jojo nggak mungkin melecehkan orang!" Apa-apaan dia?
"Memang tidak mungkin. Tapi temannya itu? Kakak tiriku itu. Malam itu Jovan menolak waktu diajak menginap sama kakakku di rumah kami, saat orang tua kami pergi ke luar kota. Kalau saja dia tetap di sana, kakakku nggak akan kebosanan dan mencoba minumah haram itu. Kakakku nggak akan mabuk dan berakhir .. berakhir ... am-bil kesucianku. Kalau saja Jovan malam itu menemani kakakku, aku nggak akan hancur. Dan kakakku nggak akan ketagihan, sekali, dua kali, sampai hampir setiap ada kesempatan selalu menyentuhku."
Aku menahan napas mendengar ceritanya. Lututku bergetar. Aku terisak, sangat keras. "Kenapa?" tanyaku lirih. "Kenapa kamu nggak lapor ayahmu? Atau Ale?"
"Karena dia mengancam akan membunuh ayahku!" bentaknya. "Kalau sudah begitu, menurutmu apa yang akan aku lakukan sebagai perempuan penakut dan pengecut? Bahkan bilang ke Ale saja aku terlalu malu."
"Kalau tahu pengecut, kenapa kamu masih menyalahkan Jojo?"
"Aku nggak nyalahin dia! Aku nggak pernah nyalahin, tapi dia sendiri yang datang menawarkan bantuan. Aku yang nggak punya pegangan, jelas menerima tangannya dengan senang hati. Apalagi dia baik dan sangat perhatian. Aku merasa aman sama dia."
"Kamu jahat!" Aku tertawa lalu terisak. "Kamu memanfaatkan rasa bersalah Jojo buat kesenangan kamu sendiri!"
"Kesenangan apanya?! Aku memang merasa nyaman dan dipedulikan, tapi dia nggak pernah cinta aku! Dia nggak pernah sedikit pun kasih hatinya buat aku!"
"Kata siapa?" Aku mengepalkan kedua tangan. "Dia sendiri yang bilang kalau dia cinta kamu!"
"Omong kosong!" Dia mengusap pipi dengan punggung tangan. Badan kami sama-sama basah kuyup. "Kamu tahu, dia memang peduli, tapi semua fokus pikirannya hanya kamu dan kamu. Bahkan dia sering keceplosan memanggilku 'Mo', bukan 'Rum'. Setiap lewat kantin fakultasmu, dia selalu celingak-celinguk seolah nyari kamu."
"Kamu bohong! Dia ... dia nggak pernah peduli sama aku!"
"Kamu yang terlalu naif, Moza." Dia tertawa getir. "Kamu terlalu fokus ngejar dia, sampai nggak sadar kalau dia sudah balas melihat kamu. Bahkan wallpaper hp dia juga foto kamu. Pasti kamu nggak tahu, kan?"
Aku menggeleng. Kuat. "Kamu ... bohong!"
"Aku jujur!" Dia kembali membentak. "Jadi aku harus apa? Jovan saja nggak tulus, jadi aku harus berpegangan sama siapa? Lebih baik aku mati, kan? JADI JANGAN HALANGI AKU!"
Dan kejadian itu berlangsung dengan cepat. Rumi kembali berjalan ke tengah jalan. Aku bergerak menangkap lengannya. Dia menepis, aku tetap berusaha menarik. Pada akhirnya kami saling dorong dan tarik. Hingga tiba-tiba ... sebuah mobil melaju dengan cepat. Tepat ketika pegangan tanganku terlepas. Dan dia .... bersimbah darah tepat di depanku.
Lalu semua berubah dengan cepat. Rumi koma, kemungkinan besar tidak selamat. Orang-orang di tempat kejadian kebanyakan bersaksi sebaliknya. Mereka mengaku bahwa aku mendorong gadis itu. Tidak ada CCTV, sehingga aku tak punya bukti kuat untuk berkilah. Aku sengaja mencelakakannya. Keluarga Rumi menuntut, hingga aku terancam dipenjara. Tapi Ayah berhasil memohon untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Kemudian hari-hariku berubah sepanas neraka. Meski koma dan dirawat di luar kota, entah dari mana ada kabar bahwa Rumi meninggal. Lalu hari demi hari aku mengalami perundungan. Aku dihakimi sebagai seorang pembunuh. Puncaknya saat acara kumpul keluarga, aku kacau. Semua kerabat menghujat dan memojokkan aku, Ayah juga Ibu. Aku menggila. Dan semua siksaan itu hingga kini menjadi pelengkap tidurku.
Jadi setelah semua itu, bagaimana bisa dua tahun kemudian aku bisa menerima kabar bahwa Rumi masih hidup? Bahwa dia terbangun setelah koma selama setahun, kemudian ingatannya kembali setahun lagi setelah itu? Bahwa orang-orang dengan mudah memercayai kesaksiannya jika aku tidak bersalah sementara pembelaanku hanya dianggap kebohongan?
Bagaimana bisa, setelah hari demi hari kulalui dengan usaha untuk ikut melenyapkan diri? Bagaimana bisa, setelah aku memercayai bahwa kejadian sebenarnya adalah Rumi benar-benar meninggal dan aku yang membunuhnya? Bagaimana bisa ... mereka dengan gampang memintaku melupakan itu semua?
Tolong beritahu aku, bagaimana caranya?
***
Direpost 02 Mei 2022
Direpost 11 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...