15. Pulang

203 43 14
                                    

SELAMAT MALAM, LIZZIE UPDATEEEE SESUAI JANJI✌🏻

Pas banget nih ya malam minggu, gak kemana-mana lagi mending baca Wattpad yekan, wkwk nih dah update buat kalian😃

Aku suka banget kalian kalau ngevote cerita aku. Sukaa bangett
Cuma aku lebih suka lagi kalau ada yang komentar, berasa kayak di moodboster-in banget sama kalian. Bahkan pernah update setiap hari loh kayak cerita-cerita sebelumnya, karena komentar dari kalian aja. Aku update tapi komentar sepi rasanya kayak dikacangin loh jadi aku nyangkanya kalian pada gak suka😭

Padahal aku gak ada rencana mau update hari ini, cuma karena ada moodboster tadi malam, semangatku buat ngetik kembali terbakar, duh Gusti 😭

Panjang banget dah bacotan aku. Yasudah silahkan dibaca mumpung masih anget~

HAPPY READING!

Lizzie menilik dari balik korden kereta kudanya. Bola mata hijau itu terbelalak, bangunan besar yang tingginya  —mungkin—  bisa mencapai awan dengan besar yang juga jauh melebihi rumahnya di Erston diklaim Edward sebagai tempat tinggal Lizzie yang dulu sebelum menikah dengannya.

Perihal ingatan lamanya, Edward sudah memberitahu secara garis besar saat berada di kapal bersama dengan Hans. Awalnya Lizzie sedikit ragu karena tak ada bukti apapun yang bisa meyakinkannya namun melihat keseriusan Edward, akhirnya ia pun luluh.

"Ingat, Zwetta. Jangan ada satupun yang tahu bahwa aku adalah suamimu," ucap Edward penuh peringatan bahkan ia perlu mendekatkan tubuhnya agar Lizzie mendengar bisikannya yang bisa saja didengar dari luar. "Oh bukan, namamu Lizette Kenward."

Lizzie mencebik. "Ya ampun, semengerikan apakah keluargaku hingga aku tak boleh mengakui suamiku dihadapan semua orang?!"

"Lebih sadis dari yang kau bayangkan. Salah langkah sekali saja, nyawa seseorang akan menjadi taruhannya." Tangan Edward bergerak merapikan rambut pirang Lizzie yang terjatuh di depan telinga, dengan perlakuan kecil seperti itu saja wajah Lizzie sudah memerah padam.

Edward terkekeh. "Astaga, menggemaskan sekali!" Ia mencubit pelan kedua pipi Lizzie dengan senyum lepas.

Meski sudah dua bulan menikah, Lizzie masih saja terpesona dengan senyuman ini. Memang benar Edward semakin banyak tersenyum setelah mereka menikah tapi entah mengapa pesonanya tak pernah luntur sedikitpun. Hah, Lizzie lelah dengan degupan jantungnya yang kian menjadi.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Lizzie melotot pada suaminya lalu memberontak agar pipinya dilepaskan. "Aku ingin pulang ke Erston saja. Ayo kita pulang, di sini bukan tempat kita."

"Bukan tempatku tapi tempatmu," elak Edward. Ia kembali membuka korden yang sedikit tersingkap. "Lagipula sudah terlambat. Kita sudah melewati gerbang utama istana."

"A-apa?!" Lizzie dibuat gusar ia ikut menatap ke luar jendela. Dan perkataan Edward barusan benar, berbagai cara melintas di pikirannya dari melarikan diri sebelum mereka semakin masuk lebih jauh ke dalam istana, atau menyamar menjadi—

Hans mengetuk pintu keretanya dari luar. "Your highness, Yang Mulia Raja sudah menunggu Anda. Mari saya antarkan."

"Ya ampun, mengagetkan saja!" rutuk Lizzie yang tadinya masih tenggelam dalam pikiran melarikan diri sebelum Hans menghancurkan khayalannya untuk bisa kabur.

"Ayo, Raja Davidson adalah ayahmu sekaligus pemimpin Broxton. Jangan buat dia menunggu." Edward turun dari kereta lebih dulu. Mengulurkan tangannya untuk Lizzie turun dengan hati-hati.

Lizzie menyambut uluran itu dengan terpaksa. Pikirannya masih memikirkan seribu cara agar bisa terbebas dari tempat ini. Namun semua pikiran itu hilang saat ingatan lama terkoneksi dengan matanya saat berada di tempat yang ia pijaki saat ini. Waktu seolah berhenti, siluet bayangan yang paling membekas sukses menghantam memorinya.

ÁGUILA REALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang