29. Perjalanan Tanpa Rencana

191 36 27
                                    

LIZZIE UPDATEEEE

Kalau masih ada yang bilang kependekan, sini gelud. Harusnya chapter ini bisa dibikin dua loh

Sebenernya aku hampir kena writer block, tapi syukurnya udah encer nih ide, ga jadi macet malah kebablasan sampai bisa bikin kurang lebih dua ribu words di chapter yang ini. Tadi barusan dapat ilham pas lagi nyuci piring-piringnya emak. Nyuci sambil merenung gitu untungnya gaada piring yang pecah. Kalau pecah, gak kebayang sih. Bukannya dapat ide yang ada malah dapat gaplok kali😭👎🏼

Sekali-kali aku minta vote sama komennya boleh lah ya😌

HAYUK ABSEN, DARI LIMA PULAU INDONESIA, KALIAN TINGGAL DI MANA?

Me: Kalimantan
You:(?)

Cek kolom komentar terus komen. Kalau ada yang sama, kalian mesti follow-followan yah. Have fun!

OK, HAPPY READING!



“Apa yang kau pikirkan?”
Lizzie menoleh. Edward yang baru saja menyusulnya menuju ruang tamu khusus langsung saja mendudukkan diri tepat di sampingnya. Dengan senyum tipis, tangan pria itu meraih puncak kepala Lizzie lalu mengusapnya pelan.

“Kau bisa membaca pikiranku jika itu yang kau mau.”

“Bukankah dengan mengungkapkan isi hatimu kau akan merasa lebih baik?” ucap Edward, “Lagi pula aku ingin berlama-lama denganmu di sini. Jadi tak akan kugunakan kebisaan membaca pikiran orang itu khusus untukmu, mengerti?”

Senyum terulas dari bibirnya. Lizzie mengangguk pelan. “Ya.”

“Jadi katakan padaku, apa permasalahanmu sekarang?” ucap Edward serius. “Kau tahu aku tak suka melihatmu seperti ini sepanjang hari.”

“Sir Charles datang padaku saat di tengah malam tadi. Aku mengenalnya sebagai sahabat baik kakakku sejak remaja karena dulu ayahnya sering ke istana setelah memasok bahan baku untuk musim dingin.”

Tenggorokannya tercekat. “Dia dikabarkan menghilang bersamaan dengan kematian pangeran Aaron. Dia bahkan diam-diam menemuiku tadi malam, dan yang paling mengejutkan, ia mengatakan bahwa Aaron masih hidup di tempat yang berada di bawah kuasamu. Di Magnolia.”

“Lalu keputusanmu?” sahut Edward lembut. “Apa kau akan menyerahkan mahkotanya kembali atau membiarkannya saja seperti ini?”

“Tentu saja aku ingin dia kembali.” Setetes air mata jatuh dari netra hijaunya. Lizzie mengusapnya pelan. “Aku tak memerlukan apa pun lagi karena Lizzie ini sudah memiliki kehidupannya sendiri.”

Edward mengernyit. “Kehidupan sendiri?”

“Ya. Dirimu.” Pipinya merona, sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih pucat.

“Sejak pernikahan kita, itulah kehidupan baruku bersama denganmu. Tak bisa selamanya aku terus berada di sini, di Broxton, di rumahku. Jadi setelah ini biarkan aku saja yang mengikuti langkahmu, kau seorang raja dari klan terkuat dan aku tak bisa egois untuk hal itu.”

Edward tersenyum miring lalu memeluk kepala Lizzie layaknya boneka. “Astaga, tak kusangka si pembangkang yang satu ini bisa bicara begitu romantis!”

“E-Ed, lepas atau aku akan marah padamu!”

Edward segera melepaskan Lizzie, sebagai gantinya, ia meraih wajah wanitanya itu dengan senyum lebar yang belum surut. “Aku baru tahu ada perona pipi yang lebih merah dari tomat seperti ini.” Edward terkekeh geli.

“Ed!”

“Aku bercanda.” Edward segera melepaskan Lizzie sebelum wanita di hadapannya ini meledak. Kekehan geli masih menghiasi wajah tampannya yang kini mengangkat kedua tangan ke udara.

ÁGUILA REALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang