10. Udara Segar Pertama

247 50 3
                                    

LIZZIE UPDATEEEE!

Wkwk jarang-jarang loh apdetnya di siang-siang bolong kaya begini. Pengennya sih ntar malam cuma takut gak sempat, keburu telat.

Btw besok udah Idul Adha aje ye. Nih siapa yang nyembelih sapi jangan malu-malu bagiin buat author, gausah banyak-banyak, cukup sekilo saja  wkwk.

Pada puasa gak? Nunggu Maghrib sambil baca Wattpad dong😎

Jangan lupa klik VOTE ⭐ okeee?

LET'S READ IT!

Keesokan paginya Lizzie bangun lebih pagi. Untuk sementara waktu ia tak bisa merenggangkan tubuh karena luka-lukanya belum pulih betul, ia melirik ke segala arah, tanda-tanda keberadaan pria itu tak terlihat sama sekali. Cahaya remang dari luar ruangan sedikit banyak menerangi kamar ini secara menyeluruh. Malam tadi Lizzie tak dapat melihat apapun selain api kecil yang menari-nari di atas lilin dan siluet tubuh pria yang menolongnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Dinding yang terbuat dari kayu linden kokoh dengan beberapa hiasan dinding yang tidak terlalu menarik. Tampak pucat sehingga kurang menonjolkan warna hiasan tersebut. Di sudut lainnya juga terdapat sebuah meja bundar dan dua buah kursi—salah satunya— yang malam tadi diduduki oleh pria yang menolongnya. Di sisi kanan dipan terdapat sebuah kursi dengan letak yang tidak rapi sepertinya diambil dari meja bundar tadi dan diduduki oleh pria itu saat membantunya untuk kembali bangun, lalu disampingnya juga terdapat beberapa lemari kecil dengan rak yang cukup banyak. Lizzie tak begitu peduli.

"Sudah bangun?"

Lizzie tersentak saat sebuah suara serak dan berat khas laki-laki yang menyapanya pagi ini. Ia mengangguk cepat dan merasa canggung.

"Kau perlu udara segar. Keluar lah, waktunya sarapan.  Kutunggu dihalaman depan," ucap Edward singkat dengan gestur menyuruh lalu melenggang begitu saja.

Lizzie bergegas bangkit dari dipan walau tulang rusuknya masih terasa ngilu. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku sebelumnya, batin Lizzie memegangi dadanya yang terasa ngeri. Terasa seperti ada sesuatu yang patah di bagian sana.

Berusaha untuk bangun, Lizzie melangkahkan kakinya dengan ringan ke arah pintu. Hal pertama yang Lizzie lakukan hanya melongo saat ia berhasil keluar dari kamar. Tidak ada ruang tamu, atau apapun itu sebelum mencapai pintu luar, tapi langsung ke alam bebas yang artinya rumah ini hanya berisikan satu ruangan yaitu kamar yang ditidurinya.

"Kenapa masih berdiri di sana? Cepat kemari atau ikanmu akan kuhabiskan!"

Lizzie berjalan cepat saat ucapan jutek itu mengarah padanya. Walau jaraknya masih cukup jauh, ia sudah mencium aroma wangi yang menjadikan perutnya meronta-ronta meminta asupan. Dilihatnya Edward yang sibuk membolak-balik beberapa ikan segar yang baru didapatkannya.

"Duduk."

Lagi, Lizzie menurut lalu duduk berseberangan dengan penolongnya.

"Bagaimana perasaanmu?"

Lizzie mengerjap-ngerjap, kata-kata asing yang dilontarkan padanya menunjukkan berbagai emosi. Khawatir dan peduli lebih mendominasi. "Aku sudah merasa baikan. Terimakasih banyak, tanpamu entah bagaimana nasibku sekarang."

Lizzie baru menyadari jika pria dihadapannya ini sangat tampan. Mata hitamnya sangat tegas dengan rahang kokoh yang memperkuat aura kekejamannya—walau ia tak melakukan kejahatan apapun malah sebaliknya, pria itu menolong Lizzie—ditambah dengan rambut hitam yang kontras dengan warna kulit putih pucat. Pahatan sempurna milik dewa yang dianugerahkan kepada hamba-nya.

"Berhenti memandangiku."

Lizzie langsung menjauhkan tatapannya dengan salah tingkah lalu menggaruk kepalanya sebagai pengalihan. "J-jangan terlalu percaya diri."

"Benarkah?" Edward sengaja menggoda gadis didepannya yang merona malu. Wajah Lizzie berubah menjadi merah lalu ia menangkup kedua pipinya serta memalingkan muka. Edward dibuat terkekeh geli karena tingkahnya.

"B-berhenti bicarakan hal ini," desis Lizzie tak terima.

"Baik-baik, aku menyerah," kekehan belum luntur sepenuhnya dari bibir Edward. "Apa kau mengingat siapa namamu?"

Lizzie berusaha mengingat-ingat walau tak ada sedikitpun ingatan yang tersisa di kepalanya. Sama sekali tak membuahkan hasil. Ia menggeleng. "Tidak."

"Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang namamu Zwetta."

"Zwetta?"

"Ya?" Tegas Edward, "Apa kau tak menyukainya?"

Lizzie cepat-cepat menggeleng. "Tidak, tidak. Aku menyukainya."

"Baguslah."

Ikan-ikan bakar yang tersusun diatas perapian mengeluarkan udara sedap hingga Lizzie tak mampu mengalihkan pandangannya dari ikan itu. Dia sangat lapar. Edward yang tak tega dengan ekspresi Lizzie yang begitu polos seperti anak-anak yang menginginkan permen pun membuatnya sedikit terhibur, pria itu mengangkat ikan yang sudah matang dan memberikannya pada Lizzie.

"Cobalah."

Awalnya Lizzie merasa ragu. Ini seperti bukan kehidupannya, namun terasa lebih bebas. Perlahan ia menggigit kecil ikan yang berada di tangannya dan mengunyah perlahan.

"Bagaimana?"

"Enak!" Lizzie tersenyum manis lalu melanjutkan sarapannya dengan lahap.

Edward terkekeh geli. Beberapa ikan telah matang dan ia pun mengambil bagiannya.

"Setelah ini aku akan pergi." Edward tak mengalihkan sedikitpun perhatiannya pada ikan-ikan matang didepannya.

"Oh ya?" Lizzie menatap penuh minat, "Kemana?"

"Mencari banyak ikan di laut untuk dijual, sisanya untuk kita." Edward berdiri lalu menepuk-nepuk celananya yang kotor oleh pasir halus. "Jaga rumah. Mengerti?"

Lizzie cemberut. "Tidak, tidak. Aku ingin ikut!"

Edward sempat terdiam, lalu menjawab tanpa beban. "Ya sudah."

🌾🌾🌾

Dilain tempat, seorang pria yang tengah duduk di kursi kerjanya tampak serius memerhatikan dokumen-dokumen penting Broxton sambil sesekali menatap langit cerah dengan awan yang berarak. Cantik. Begitu juga dengan perasaannya beberapa hari terakhir sejak kematian Lizette diumumkan.

"Peter!"

Tak lama muncullah seorang pria paruh baya dengan pandangan ke bawah, begitu menghormati tuannya. "Yes, your highness?"

"Musuhku tertinggal satu orang. Menurutmu akan kuapakan pangeran itu?" Pria yang duduk di kursi kemudian menyesap teh rapsberry dengan tatapan tertarik. Peter adalah pria yang paling dipercayainya di dunia ini.

"Saya rasa Anda harus memotong habis rumput-rumput liar yang berani menghalangi jalan Anda. Sama seperti sebelumnya."

Perumpamaan yang bagus.

"Begitukah?" Pria itu mengangguk setuju. "Tapi aku tidak bisa melakukannya dalam waktu dekat karena Lizette baru saja mati."

Peter mengangguk. "Saya sependapat, your highness. Lakukanlah perlahan-lahan hingga ambisimu terpenuhi."

Pria itu tersenyum puas dengan jawaban yang diberikannya. "Kau benar. Aku tidak boleh terburu-buru."


TBC

Nah untuk peran antagonisnya kira-kira sudah ada bayangannya nih. Menurut kalian siapa dalangnya?

Jawab di kolom komentar!😆

Oh, Terakhir. Author mohon maaf lahir dan batin kalau ada salah kata sama kalian-kalian, ya gengs. Author juga manusia yang dosanya bejibun😭

Maapin juga kalau author pernah janjiin update tapi ternyata gak update alias janji palsu. Gatau juga sih pernah apa nggak, tapi apa salahnya minta maaf, yekann😭

SEE YOU NEXT CHAPTER!

Sayang kalean💜

ÁGUILA REALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang