Diva Arnetta

1.1K 71 6
                                    

Emily mulai terusik dari mimpi ketika mendengar alarm berbunyi di samping tempat tidur. Namun, belum sempat bergerak, dia merasakan tekanan kecil dari lengan yang melingkar di pinggangnya.

Dia baru menyadari itu lengan Aksa. Bahkan, jantungnya berdebar lebih cepat melihat sepasang mata milik Aksa telah terbuka lebar.

“Pagi ....”

Kening Emily mengernyit. ‘Apa ini mimpi?’ Dia mendengar kata yang paling horor seumur hidupnya dari Aksa. Bahkan pemuda itu tersenyum begitu manis.

“Aku pasti lagi mimpi. Sadar, Emily! Bangunlah!” Emily menepuk pelan pipinya, menyadarkan diri dari sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

“Jangan dipukul terus. Nanti pipi kamu sakit,” kata Aksa menahan tangan Emily.

“Emh?” Emily mengerjap berkali-kali, berharap cepat sadar dari mimpi. Namun, pegangan tangan Aksa cukup hangat dan terasa nyata.

“Pasti lagi ada maunya.” Emily menyingkirkan tangan Aksa. Pemuda itu duduk mengikuti gerakan Emily yang beranjak dari tempat tidur.

“Loh. Emangnya salah kalau saya bersikap baik sama kamu?”

Emily menggigit pelan bibir bawah. Tidak salah juga perkataan Aksa. “Nggak. Cuma aneh aja, sikap kamu dari semalem bikin aku takut,” katanya seraya mengikat rambut panjangnya. “Atau kamu abis minum obat apa? Resep dari mama nggak mungkin ngebuat pikiran kamu kebalik, ‘kan?”

Aksa berdecak. “Udah dibikin kalem, dikatain aneh. Saya marah-marah, dikatain Aksayton. Sebenernya di sini siapa yang kejam?” tanya Aksa. “Kalau dihitung-hitung, hujatan kamu ke saya pasti lebih banyak.”

Bibir Emily mengerucut. Sudah bisa terlihat pada akhirnya pembicaraan ini dimenangkan oleh Aksa. Dia pun segera pergi ke luar kamar, mencoba mengabaikan sikap aneh suaminya.

Sesampainya di dapur, Emily dibuat kaget setengah mati. Keadaan dapur kesayangannya seperti kapal pecah. Bungkus-bungkus camilan, kulit buah, susu kotak, semua berserakan di atas meja.

Piring-piring kotor menumpuk, lantai kotor oleh tumpahan air mie instan. Kepala Emily mendadak pening, menutup mulut agar tidak berteriak pun percuma. Dapur ini adalah tempat favoritnya di rumah.

“Aksaaaa!” teriak Emily sangat keras sampai Aksa di sebelahnya menutup telinga menggunakan jari telunjuk.

“Saya masih di sini, kenapa teriak-teriak? Rumah ini harganya milyaran, masih aja berasa tinggal di hutan,” ujar Aksa santai.

“Coba jelasin ini maksudnya apa, hah?” tanya Emily dengan napas tidak teratur.

“Hah?”

“Hah? Aku tanya, cuma hah, doang jawaban kamu? Ini pasti kerjaan kamu, kan?” Emily melihat Aksa dengan kesal. Pekerjaan rumah bertambah, padahal pagi ini dia ada janji bersama Raihand untuk berdiskusi. Bahkan rencananya, mereka akan pergi ke tempat penjual bunga yang dikenalkannya.

“Emang kenapa? Tinggal diberesin doang, gampang, ‘kan?”

“Aksaaaaa ... masalahnya pagi ini aku ada janji sama Rai. Kalau kaya gini, aku pasti kesiangan!”

“Nah, itu kamu tau. Inti masalahnya adalah kamu belom saya kasih izin pergi. Izin suami itu penting, loh. Atau kamu emang mau jadi istri durhaka, terserah.”

“Aksa!” Emily hampir kehilangan kendali. Dia sungguh marah.

“Saya kutuk jadi nenek ember, mau?” Aksa melebarkan senyum melihat Emily menahan tangannya sendiri yang bergerak aktif ingin mencubit. “Istri baik ... beresin yang bersih, oke? Nanti saya bantu do’a.”

Dilema Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang