Selalu Tentangnya.

848 60 8
                                    

“Emily, ayolah! Mau sampe kapan kamu nyuekin aku kaya gini? Udah dua minggu, tapi nggak ada peningkatan di antara kita berdua. Kalau sampe adonan pesenan papa nggak jadi, kamu mau bikin aku digantung di lampu merah, gitu?”

Emily terbatuk-batuk setelah mendengar penuturan Aksa dengan adonan kue pengembara kembar nakalnya. Dia sadar, semakin dia menjauhi Aksa, suaminya malah gencar mendekat. Apalagi setelah terancam dicoret dari daftar warisan, Aksa begitu bersikukuh ingin punya anak.

“Kamu yang terancam digantung, kenapa minta tanggung jawabku? Pacar kamu banyak, kenapa nggak nyari mereka aja buat dapet anak? Nanti, kalau kamu punya anak dari wanita rendahan sepertiku. Harga diri kamu bisa jatoh, ujung-ujungnya nyesel.”

Emily pun menyusun kembali tumpukan piring yang telah dicucinya di rak tanpa memedulikan ekspresi Aksa.

Dua minggu lebih Emily bersikap ketus, cuek dan tidak mau mengalah. Kelelahannya menangani sikap Aksa selama bertahun-tahun telah mencapai puncak tertinggi. Bahkan ketika pria itu meminta lemburan malam, 1001 cara digunakan Emily untuk menolak.

“Ya, ampun. Masih diinget juga? Kalau masih punya ingetan bagus, kenapa nggak inget yang baik-baiknya aja, si? Kenapa harus yang jelek? Kebaikan aku ke kamu jauh lebih banyak selama belasan tahun!”

Emily mengernyit. “Oh, ya? Coba sebutin satu aja kebaikan kamu ke aku kayak apa, kalau ada. Aku pertimbangkan lagi.”

Emily melihat ke arah Aksa dengan kedua alis terangkat, menunggu suaminya menyebutkan salah satu kenangan mereka semenjak pertama kali bertemu hingga detik ini.

“Emmmh ....” Aksa mulai mengingat lebih keras.
*
Jauh ketika sewaktu pertama kali Emily datang ke rumah yang ada di Jakarta. Saat itu usia Aksa masih 14 tahun dan Emily berusia 9 tahun, dia tidak terima ayah ibunya memberikan fasilitas lengkap sama sepertinya dan Devano.

Karena itu, di waktu malam hari dan semua orang tertidur lelap. Aksa berinisiatif memasukkan kembali semua barang milik Emily ke dalam koper. Dia pun mengendap-endap ke kamar Emily, takut ketahuan kedua orang tuanya.

“Kak Aksa mau ngapain?” tanya Emily dengan suara serak khas bangun tidur. Mimpinya jadi terusik mendengar sedikit kegaduhan di lemarinya.

“Mau buang sampah!”

“Tapi itu semua baju aku, bukan sampah. Jangan dibuang, nanti aku pakai baju mana?”

“Masih mau pake baju ini?” tanya Aksa ketika wajah Emily memelas minta dikasihani. “Ini saya kasih lagi, tapi ambil sendiri.”

Emily mengangguk cepat.

Aksa pun segera menarik kopernya ke luar kamar, lalu melempar itu di depan gerbang rumah hingga berguling-guling di jalan.

“Kak Aksa, kok, jahat, sih? Katanya tadi mau dibalikin. Tapi masih tetep dibuang ... hiks.” Emily terisak menghampiri kopernya.

Gelapnya malam dengan udara dingin tidak menyurutkan niat Aksa mengusir Emily dari rumahnya.

“Loh, harusnya kamu berterima kasih. Semua barang itu udah saya balikin ke tempat seharusnya berada, termasuk kamu!”

Aksa langsung berbalik arah masuk rumah, sedangkan Emily mengikutinya dari belakang. Susah payah dia menyeret koper karena takut ketinggalan, tapi usahanya sia-sia. Aksa sudah mengunci pintu.
*
Sebelum berangkat kerja, sudah menjadi rutinitas Nayla menyiapkan sarapan sebelum anak-anaknya pergi sekolah.

Aksa sudah duduk di bangku SMA, Devano tengah menempuh pendidikan lebih tinggi di Universitas Jakarta, dan Emily masih di bangku SMP.

Ketiga anak itu berada di satu meja makan dengan kesibukan masing-masing.

Dilema Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang