“Kak, hape kamu bunyi terus, tuh, dari tadi! Diangkat kenapa, risi tau! Aku nggak bisa tidur!” Emily menutup telinga dengan bantal, suara bising nada dering gawai Aksa terus-menerus menerornya sejak tadi.
“Udah, nggak bunyi lagi. Tadi lupa di-silent.”
Emily cemberut. Dia lihat Aksa di sampingnya masih belum mau berpindah tempat apalagi pergi. Padahal sudah puluhan kali Diva meneleponnya dan meminta Aksa datang.
“Kenapa nggak disamperin aja, sih? Kak Diva nelpon udah kaya kuntilanak neror tukang becak. Kakak mau dia begitu terus sepanjang malem?” tanya Emily lagi.
“Nah, itu tau ini udah malem. Jadwal manusia kalau udah malem itu tidur, bukan kelayapan nemenin kuntilanak. Lagian, emang kamu bisa mastiin nggak bunuh diri lagi kalau aku pergi?”
Emily berdecap kesal, lalu memosisikan tubuhnya lebih nyaman. Dia menatap langit-langit kamarnya yang di desain menyerupai langit malam.
Cat berwarna gelap, dipadu-padankan lampu tidur berbentuk bulan sabit dikelilingi bintang-bintang kecil menambah kesan seolah berada di bawah langit sesungguhnya.
“Awas tangannya dikondisikan. Lagi nggak pengen dipegang kamu,” ujar Emily sedikit ketus saat Aksa ingin melingkarkan lengan di pinggangnya.
“Kalau kamu nggak mau aku pegang, maunya dipegang siapa? Pemuda bodohmu itu?”
“Ah ... iya. Lebih baik aku dipegang pemuda bodohku daripada sama kamu yang sok perhatian.”
Aksa terperanjat. Dia mendadak bangkit dari rebahan ternyamannya karena mendengar ucapan Emily barusan. Lagi-lagi dia dibuat jengkel saat Emily membahas pemuda bodohnya itu.
“Oh, jadi gitu mau kamu sekarang, hah? Kamu milih dipeluk Raihand si tiang listrik itu daripada suami sendiri!” kata Aksa dengan nada kesal.
Dia lihat Emily mengernyit sebentar sebelum menjawab, “Loh, Rai? Kenapa jadi Raihand yang kamu bawa-bawa?”
Mata Aksa terbelalak lebar, dia semakin tidak menyangka ucapan Emily barusan.
“Jadi kamu suka cowok yang mana lagi?! Nggak cukup gitu aku sama Rai terus pengen ngembat yang lain juga?”
“Hah?” Emily masih mencerna maksud perkataan Aksa, lalu menyusul duduk di hadapan suaminya seraya memijat pelipis.
“Bicara kamu makin ngelantur, Kak Aksa. Pertama Rai, terus sekarang Kakak bilang aku suka pemuda lain? Emang Kakak pikir, aku suka sama siapa lagi?”
Aksa tersenyum sejenak kemudian merapatkan posisi duduk di dekat Emily walau istrinya kelewat ketus.
“Aku misalnya.”
Aksa melihat dua mata Emily menatapnya tanpa berkedip sedetik pun dalam beberapa saat. Wanita itu kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Walau aku suka sama kamu. Semuanya udah terlambat, aku nggak mungkin menanam luka lebuh banyak lagi daripada ini,” kata Emily.
Seakan ada sayatan tipis menyakitkan di hati Aksa mendengar kalimat itu. Karena semenjak Emily menyatakan perasaan di restoran tempo hari, dia selalu ingat, selalu merasa hari-harinya bahagia tanpa beban.
“Emily, aku—“
“Kak, saat kita berpisah nanti. Aku mau perpisahan itu nggak akan menjadi pembatas di antara kita. Ini buat papa sama mama, karena aku udah minta izin mereka buat ke pengadilan besok.”
Mata Aksa terasa basah dan memanas, dalam sekali tarikan napas, ucapan Emily dirasa sangat serius dari sebelumnya.
“Jangan banyak mau. Belum tentu kukabulkan permintaan kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Istri Pengganti
RomansMengandung konten dewasa, konflik, comedy, romance. Anak sultan Aksa Pradipta ketika harus menikah dengan anak adopsi Emily Walther.🌹