Cetakan Pertama

1.1K 85 21
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haiii

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haiii ... kembali lagi bareng keluarga eumh, spesial katanya😆 gimana, gimana, ada yang seneng hari ini? Mudah-mudahan seneng, ya.🙊
.
.
.
.

Emily masih terdiam di tempat yang sama sewaktu Aksa meninggalkannya. Namun, pikirannya melompat jauh ke tempat Helena berada. Entah dalam keadaan bagaimana anak gadisnya sekarang, Emily terus berdoa tanpa henti agar dia bisa kembali memeluk hangat tubuh sang anak.

“Emily ....”

Sebuah suara memanggil namanya, Emily yakin itu bukan Aksa. Dia spontan melihat ke arah samping, dan tampak ada seorang wanita dan pria yang cukup familier bagi dirinya.

Tangis Emily tidak terbendung lagi, respons di tubuhnya mengambil alih lebih cepat dan berlari kecil ke arah dua orang tua itu.

“Mama ... Mama ... Mama.” Hati Emily bergetar menyebut kata itu sebanyak tiga kali. Ini serasa mimpi, biasanya dia hanya bisa melihat Nayla di foto kecil yang dibawanya dalam dompet.

Namun, sekarang dia bisa merasakan dekapan hangat nyata, juga sentuhan wanita itu di punggungnya.

“Emily, alhamdulillah. Ternyata ini benar kamu, Sayang? Mama sangat merindukanmu, Emily. Sangat merindukanmu,” ujar Nayla seraya menangis tersedu-sedu memeluk anaknya.

“Aku juga rindu Mama dan berada dalam pelukan Mama kaya gini.”

Emily masih terisak ketika Nayla melepaskan pelukannya, sekali lagi dia lihat dua wajah yang sudah menua itu. Tidak terbayang lagi bagaimana besar kerinduannya selama ini.

“Papa ....” Emily berpindah ke arah Yasa yang ada di samping Nayla. Pria itu tidak kalah memberi kehangatan di setiap usapan di rambutnya.

“Papa udah dengar semuanya dari Aksa, dan sekarang papa sama mama udah ada di sini. Kamu jangan menangis lagi, Emily. Mereka berdua pasti sembuh, yakinlah dan terus berdoa.”

Emily mengangguk pelan mendengar ucapan ayahnya, dia pun melepas pelukan seraya menghapus sisa air matanya di pipi.

“Terus gimana sama Helena?” tanya Nayla.

“Lena masih dioperasi, Ma. Dokter bilang ini memakan waktu sampai berjam-jam, tapi aku enggak tau sampai kapan. Udah dua jam aku di sini, dan mereka belum juga keluar, aku takut, Ma.” Emily tertunduk, menyembunyikan kesedihan hatinya dalam sesaat.

“Sabar, Sayang. Dokter di sini adalah dokter berpengalaman yang ahli menangani pasien seperti Helena. Mereka akan berusaha supaya Helena bisa melewati masa-masa ini,” ujar Nayla memberi pengertian, dia pun mengajak Emily kembali duduk di tempatnya tadi.

Emily mengangguk paham.

“Di mana Aksa?” tanya Yasa kemudian.

“Dia ada di ruang inapnya Eric, Pa.”

“Kalau gitu, papa ke tempat Aksa dulu sebentar. Kalian berdua tunggu di sini,” ujar Aksa yang disambut anggukan dari istrinya. “Antar saya ke ruangannya, Gab.”

“Baik, Tuan.” Gabriel yang masih berada di dekat mereka pun mengantar Yasa ke ruangan Eric. Dia tidak sabar ingin mengetahui bagaimana rupa project kembara kembar kalemnya di sana.

***

Sementara itu di ruag inap Eric, Raihand sudah pergi  kembali ke kota Munich sekitar 15 menit lalu. Kini hanya tinggal Aksa dan Eric berdua di sana.

Aksa pun bisa mengetahui beberapa informasi tentang masa lalu mereka sebelum bertemu. Tentang Emily yang bekerja dari pagi sampai malam, belum lagi kesibukan di rumah yang tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Mereka bertiga membagi tugas dan mengambil pekerjaan setiap hari. Jika pekerjaan sekolah selesai, terkadang para anak itu membantu Emily di toko bunga. Setelah pulang, mereka membiasakan membersihkan peralatan makan sendiri agar pekerjaan rumah ibunya tidak terlalu menumpuk.

Helena pun tidak jarang membantu, walau dia harus beristirahat berulang-kali untuk menjaga kesehatannya.

Namun, untuk informasi itu. Aksa tidak bisa langsung mendapatkannya. Dia harus mengajaknya bicara seraya bermain game di gawai masing-masing. Sebab, Eric juga ternyata sangat sulit jujur tentang perasaannya. Butuh pengalih perhatian dan bercerita dengan nyaman.

“Daddy, itu Selena jangan dibiarin kabur, susah lagi nanti. Tunggu bentar lagi aku dateng,” ujar Eric.

“Buruan, keburu kena kill orang laen ini udah ada dua lagi yang dateng.”

“Iya, iya, bentar lagi. Ini jempolnya susah gerak. Coba kalau enggak diinfus, udah dari tadi.”

Aksa melirik sekali ke arah anaknya, Eric memang tampak fokus bermain walau tangan kirinya terdapat infusan yang menusuk.

“Nah, itu tau susah gerak. Makanya lain kali, kalau ada apa-apa, ngomong. Jangan dipendem sendiri. Sakit kaya gini kan, enggak bisa diwakilin sama orang lain pas diinfus,” ujar Aksa. Anak itu sedikit cemberut. Kemudian melanjutkan permainannya lagi. “Coba dari dulu kasih tau momy kalau enggak Daddy Rai kamu itu.”

“Hhh, momy kan, setiap hari kerja. Pas pulang langsung masak buat makan malem, abis itu tidur. Enggak tega tambah beban momy. Udah gitu Daddy Rai juga paling cuma hari-hari libur aja datengnya, dia juga punya kesibukan sendiri. Jadi enggak selalu bisa cerita,” jawab Eric seadanya seraya memainkan game.

“Dari mulai kapan emang susah tidur?”

“Tiga taun lalu.”

“Apa? Udah tiga taun?!” Mata Aksa membulat sempurna melihat ke arah anaknya, dia pun menghentikan permainan dengan tiba-tiba.

“Daddy, kenapa malah berhenti? Liat itu hero punyaku juga jadi mati, ‘kan—“

“Kenapa bisa selama itu, Ric? Jadi selama itu kamu nyembunyiin semuanya dari momy? Tolong jangan terlalu dipaksainlah badannya, kamu itu katanya mau jagain Lena sama momy, gimana mau jagain kalau kondisi fisik sendiri enggak bisa dijaga!” Aksa berbicara dengan nada sedikit kesal dan cepat, anak itu terkejut dan menatap Aksa sedih.

“Kok, Daddy marah? Katanya tadi nanya. Aku jawab masih dimarahin juga,” kata Eric. Kedua matanya berkaca-kaca ingin menangis.

“Ya, jelas daddy marah. Daddy tau niat kamu baik, tapi jangan berlebihan kayak ... adedededeh, sakit, sakit, sakit—“ Kalimat Aksa terpotong merasakan telinganya memanas kena jewer seseorang.

Sewaktu dia melihat, ternyata itu ayahnya sendiri yang berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam.

“Bagus! Ngajarin anak kecil enggak tau timbangan, apa perlu papa ajarin kamu gimana cara ngedidik anak?”

“Pa, jangan salah paham dulu. Ini Aksa lagi nasehatin dia supaya enggak ngulang perbuatannya.” Aksa berusaha melepas jeweran Yasa di telinganya, tapi sulit.

“Bohong, tadi Daddy marahin aku. Padahal aku cuma jawab jujur aja ... hiks. Sedih tau.” Eric menangis, Yasa baru melepaskan jewerannya dan menghampiri cucunya, dan lalu disambut pelukan dari Eric.

“Udah, jangan nangis. Anak lelaki harus jaga image, malu nanti kalau diliat temen sekelas. Nanti Opa nasehati daddy-mu supaya lebih kalem, oke?”

Eric sedikit menengadah melihat wajah asing di depan matanya ini. “Tapi masih takut dimarahin Daddy lagi. Daddy marahnya serem.”

“Sa, liat. Dia sampe ketakutan gini, kamu apain aja dari tadi? Jangan terlalu keras sama anak kecil, kalau mau kasih nasehat, ya pelan-pelan aja. Sewaktu kamu kecil juga kan, papa ngedidik kamu sesuai kesalahan apa yang kamu lakuin. Apalagi kalian baru aja ketemu, langsung marah kayak tadi, bisa bikin anak makin down.” Yasa mulai memberi nasehat.

Aksa kembali dibuat menghela napas melihat anak itu mencebik seakan meledeknya di balik tatapan Yasa.

“Tuh, tuh, kan? Mulai lagi dia acting-nya! Jangan percaya, Pa. Dia tuh, sebenernya enggak cengeng, cuma pura-pura keliatan lemah aja biar Aksa kena marah. Masih benci dia sama Aksa, Pa,” ujar Aksa meyakinkan Yasa di sana.

“Aksaaaa ... pilih mana coba, di luar apa di dalem? Papa udah usaha lebih kalem, nih.”

“Dalem! Iya, iya, Papa menang! Hebatlah, mainannya anceman terus,” kata Aksa lagi seraya kembali duduk di kursinya, kesal. Menghindari ancaman sang ayah yang pasti menyuruhnya tidur di luar sebagai hukuman.

“Opa siapa? Opanya aku, ya?” tanya Eric kemudian.

“Iya, dong! Opanya siapa lagi? Masa udah ganteng, gagah, keren begini masih enggak kenal?”

Eric mengernyit sebentar, kemudian melihat ke arah Aksa yang tampak masih kesal di kursinya.

“Iya, ganteng. Sama kayak aku, tapi enggak sama kayak Daddy,” ujar Eric dengan senyum lebar.

Berulang kali Aksa mengambil napas lebih dalam. Menyadarkan diri dari bola-bola kecil emosinya yang terus menguji kesabaran.

“Sabar, Sa ... sabar. Ini baru cetakan pertama.” Aksa menghibur diri dalam hati seraya mengelus dada.

Dilema Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang