“Aksa ... Aksa! Ini kenapa anduknya disimpen di atas kasur? Masukin tempat sampah juga, nih, lama-lama. Kebiasaan banget kalau abis mandi nggak digantung lagi!”
Pandangan Aksa mengikuti setiap langkah Emily dalam kamar, wanita itu terus mengomel sampai mulutnya berbusa hanya masalah handuk.
“Ini juga, ya, ampun. Kaos kaki kenapa ada di tumpukan celana dalem? Kamu itu, kalau misalnya nggak jadi dipake, masukin lagi sesuai tempatnya, dong. Kamar udah kaya kapal pecah setiap hari!” Emily mengambil sepasang kaos kaki tersebut, lalu meletakkannya di tempat khusus.
Wanita itu pun mengikat rambutnya asal setelah terlalu banyak bergerak membuatnya gerah. Dia pergi ke luar kamar dan masuk lagi dalam waktu beberapa menit, Aksa masih terpatri di sudut tempat tidur.
Kali ini Emily membawa beberapa makanan kegemaran Aksa. Di antaranya, potongan buah pir segar yang telah dikupas.
“Dimakan dulu. Tadi sewaktu beli sayuran di pasar, aku dapet bonus dari tukang dagangnya. Lumayan, ‘kan? Kamu suka banget sama buah pir.”
Aksa tersenyum manis, sinar matahari yang menembus jendela kamar miliknya menyorot langsung ke tubuh Emily hingga dia tampak bersinar terang di matanya.
Senyum khas yang menghias di bibir kemerahan Emily, memancing tangan Aksa bergerak otomatis tanpa diperintah.
Dia ingin menyentuh bibir yang selalu menjadi candu untuknya.
“Aksa, kamu kenapa?”
Senyum Aksa menipis, mendengar suara itu berbeda dari Emily. Istrinya pun berubah menjadi sang ibu yang tengah menyediakan potongan buah di atas piring kecil, ada juga seporsi makan siang berupa udang balado berada di sebelahnya.
“Ma, Emily di mana? Kenapa Mama yang nganterin ini buat Aksa?” tanya Aksa.
Nayla segera meletakan meja kecil berisi makan siang Aksa di atas tempat tidur untuk sementara.
“Sa, Emily belum pulang. Papa sama Kak Vano masih berusaha buat nyari keberadaan dia ada di mana.”
“Hah ....” Hanya muncul kata tidak berarti dari mulut Aksa. Semua kata-kata yang biasa terucap seperti gerbong kereta, sekarang terpenggal dan musnah sebagian.
Hatinya hancur, pikirannya selalu tidak berada di tempat. Pergi menghilang terbawa kepergian Emily sejak kemarin.
Saat dia pulang ke rumah dengan tangan kosong pagi itu. Tamparan keras dia terima berulang-kali. Pertama dari ayahnya, kedua, ketiga, dan seterusnya dia dapat dari telapak tangan sendiri.
Masih beruntung Nayla bisa mengendalikan emosi. Cara berpikir yang tenang membuat dia bertahan dan tidak ingin sakit.
Kepergian Emily meninggalkan luka di hati banyak orang. Bahkan dirinya sekalipun, dia menangis sehari semalam seorang diri, dan merasa bahwa dialah orang yang paling merasakan sakit.
Namun, ternyata dia salah. Luka di hatinya bisa diibaratkan tertusuk jarum kecil, jika dibandingkan dengan Aksa yang memiliki luka lebih dalam.
“Oh, iya. Maaf, Aksa lagi nggak fokus, Ma.” Aksa memberi senyum tipis.
“Kamu nggak fokus karena belum makan, Sa,” ujar Nayla seraya mengambil piring berisi buah. “Mau ini dulu, apa langsung nasi?”
“Aksa nggak lapar, Ma.”
“Jangan bohong, Sa. Dari kemaren kamu belum makan. Sini, makan dulu. Mama liatin bila perlu sampe makanan kamu habis semua.”
Aksa menghela napas, lalu beringsut dari tempat tidur. “Makasih, Ma. Tapi Aksa beneran nggak laper. Aksa mau lanjut nyari Emily lagi.”
“Ayolah, Sa. Jangan begini! Ada papa sama Kak Vano yang nyari, kamu baru aja pulang masa mau pergi lagi? Mama ngerti perasaan kamu, kita semua—“
“Masalahnya Mama nggak ngerti apa-apa! Gimana rasanya berada di posisi Aksa sekarang. Emily pergi karena Aksa penyebabnya, kalian semua beranggapan begitu, ‘kan?”
Nayla bergegas menghampiri anaknya dengan langkah cepat. Air matanya baru saja menyusut beberapa jam lalu, kini kembali menguap melihat wajah pucat anaknya.
“Enggak, itu semua nggak bener. Ada banyak pertengkaran terjadi dalam rumah tangga, tugas orang tua adalah berada di tengah-tengah mereka. Kami sakit melihat anak kami sakit bahkan merasakan luka yang sama. Mama melahirkan dan membesarkan kamu bukan untuk dihakimi atau disakiti. Kalau ada sikap mama atau papa yang menyinggung perasaan kamu, mama minta maaf, ya.”
Aksa tertegun melihat ibunya menangis dan meminta maaf.
“Nggak ada orang tua yang meminta maaf pada anaknya. Yang ada Aksa minta maaf ke Mama, maaf karena Aksa gagal jadi suami yang baik buat Emily, maaf juga karena udah membuat Mama sedih karena kelakuan Aksa selama ini,” ujar Aksa, dia pun mencium punggung tangan Nayla hingga air matanya menetes di sana.
“Maaf ... Aksa bener-bener minta maaf. Buat semua yang pernah Aksa lakuin.”
Beban di hati Aksa seolah lenyap terbawa tetesan air setelah mengucap kata maaf pada ibunya. Karena setiap hal yang dia lakukan setelah kehancurannya ditinggal Diva, selalu bentrok dan menyakiti Nayla tanpa dia ingin mengerti luka ibunya.
Usapan lembut di rambut oleh telapak tangan Nayla, menenangkan hatinya. Aksa baru bisa mengangkat wajah saat wanita itu menuntun pelan arah pandangannya.
“Senakal-nakalnya kamu, kamu tetap darah daging mama. Sekarang anak mama udah dewasa, hmh? Kesedihan mana lagi yang akan datang? Sedangkan mama udah dikasih kesempatan melihatmu hingga sekarang. Nggak ada, Sa,” ujar Nayla.
“Jadi, Aksa nakal banget, ya, di mata Mama?” tanya Aksa balik dengan seulas senyum tipis.
Nayla mengangguk. “Tapi kalau nggak nakal, malah aneh. Udah nggak heran lagi, siapa dulu papanya coba?”
“Papa Sultan Yasa horang kaya yang gantengnya nggak ada yang ngalahin!”
Mereka berdua tertawa. Hati Aksa cepat sekali luluh sebenarnya, tapi di depan orang lain. Dia selalu memasang harga tinggi supaya tidak terlihat lemah.
“Kalau gitu, sekarang kamu makan dulu, ya. Nggak baik menyiksa badan, Sa. Gimana mau ada tenaga nyari kalau perutnya kosong,” bujuk Nayla.
Aksa menggelengkan kepala. “Makasih, Ma. Tapi sekarang Aksa nggak ada selera makan, nanti aja makannya bareng Emily kalau udah ketemu.”
“Aksa, jangan begini, makan dulu walau Cuma sedikit, Sa. Aksa ....” Nayla mengikuti langkah Aksa yang menuruni anak tangga dan terus menolak tawarannya. “Atau, kamu mau mama bikinin roti isi selai? Mama bikin sekarang, nggak papa makan di jalan juga. Asal perutnya jangan kosong.”
Aksa menghentikan langkah. Kemudian mengangguk kecil sebagai jawaban untuk ibunya agar tidak terlalu khawatir.
***
[Wanita Jalang!]
[Seharusnya kau pergi dari kehidupan Aksa]
[Kembalilah ke tempat asalmu, jauhi Aksa]
[Hari ini Aksa bersamaku, kau tahu? Dia masih lumayan bertenaga sama seperti dulu]
[Saat aku hamil anaknya, dia sudah tidak membutuhkanmu. Jadi pergilah, sampai dia tidak bisa melihatmu lagi]
[Aku positif hamil. Ini Aksa junior]
Deretan pesan dari Diva di gawai Emily yang sengaja ditinggalkan meracuni pikiran Aksa. Dia kesal, sangat kesal. Kenapa dia bisa kecolongan dan membiarkan Diva mengirimkan pesan tidak pantas ini terhadap istrinya.
Pantas saja Emily ingin dia melihat gawai miliknya di surat itu, ternyata ini salah satu alasan Emily pergi.
Emily tidak pernah mengadukan apa pun selama ini. Aksa baru menyadari, bahwa wanita itu menahan lebih banyak luka yang datang dari berbagai arah.
Saat Aksa menyatakan cinta pada Emily dari dekat, dia masih tidak melihat bahwa istrinya telah penuh dengan luka.
“Aksa, Begoooo! Kenapa lo nggak nyadar ini dari dulu?!” Aksa meremas rambutnya sangat kuat.
Nyeri mendera kepala dan hatinya bersamaan. Sedangkan belum ada kabar secuil pun dari ayah dan kakaknya.
“Aksa? Kamu akhirnya datang juga.”
Aksa baru mengangkat wajah melihat Diva menuruni anak tangga rumahnya dengan senyum semringah.
Maklum saja, sudah hampir dua hari Aksa menolak datang. Baru kali ini menyempatkan diri dan menemui Diva, itu pun untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan Emily.
Gadis itu duduk di sebelahnya.
“Kamu ke mana aja, Sa? Aku kangen.” Seperti biasa, Diva melingkarkan lengan pada Aksa. Mencari posisi hangat pria itu.
“Aku nggak akan lama, Va. Kedatanganku ke sini cuma mau nanya sama kamu.”
“Nanya? Nanya apa?”
“Kenapa kamu kirim pesan-pesan itu ke Emily, Va?”
Diva mengernyit. Aksa menebak gadis itu pasti lupa atau pura-pura lupa atas perbuatannya. Kesabaran Aksa hampir habis saat ini.
“Kamu baca. Apa dia ngadu ke kamu, humh? Dia ngomong apa aja?” tanya Diva.
“Ngadu?” Aksa menjeda perkataannya. “Walau pun dia nggak ngadu, apa pantes kamu kirim pesan itu ke dia? Sekarang aku tanya, sejak kapan kita pernah hubungan badan, hah? Kalau kamu hamil, siapa bapaknya?”
“Loh, kenapa kamu marah, Sa? Kamu seharusnya makasih sama aku, karena aku lagi bantuin kamu supaya bisa pisah sama dia.”
“Apa?” Aksa terkejut bukan main.
Prak!
Napasnya tersengal dan dia sengaja membanting gelas di atas meja hingga hancur berantakkan.
“Kenapa? Kamu tanya kenapa buat sesuatu yang jelas salah! Aku bisa lakuin apa pun yang kumau tanpa bantuan kamu!”
Tubuh Diva menegang. Baru kali ini Aksa marah padanya sampai separah ini.
“Ak--sa, kenapa sekarang kamu marah? Bukannya dia udah pergi, kan? Kemarin aku liat postingan Kak Vano di IG. Berarti udah nggak ada halangan lagi di antara kita, Sa. Kamu udah janji—“
“Kapan aku ngasih janji sama kamu? Bilang!” Aksa menendang kaki meja di dekatnya penuh emosi. Diva tertunduk dan sangat ketakutan.
Gadis itu memundurkan langkah, menghindari tatapan tajam Aksa padanya. Wajahnya kian memucat oleh tekanan besar dari Aksa.
“Kita udah saling kenal dalam waktu lama, Va. Tapi aku nggak pernah ngira kamu punya otak nggak pernah dipake buat mikir! Siapa kamu berani mengatur hidup dan kemauanku? Kamu bukan siapa-siapa. Selamanya bakal tetap begitu!”
Aksa berbalik arah dan melangkah lebar hendak meninggalkan Diva. Namun, gadis itu mengejarnya tanpa ingin berhenti. Dia menarik-narik lengan Aksa dan terus bicara.
“Aksa, kenapa kamu jadi kaya gini? Ini salah! Ini bukan kamu! Aksa, aku mohon jangan pergi dalam keadaan marah. Aku—“
Terdengar rintihan kecil dari mulut Diva hingga gadis itu terjatuh dan tidak sadarkan diri dalam sekejap.
Aksa pun berteriak memanggil orang rumah, dan keluarlah asisten rumah tangga Diva lebih dulu sebelum ibunya.
“Suruh ibunya yang ngurus. Saya masih banyak keperluan!” titah Aksa yang langsung melangkah meninggalkan Diva di sana.
***
Beberapa bulan kemudian, Aksa hanya bisa melihat foto yang memperlihatkan pernikahannya dengan Emily. Wanita itu sangat cantik mengenakan ballgown putih dengan bordiran cantik pilihannya sendiri.
Senyumnya merekah, sangat indah. Memancing bibir kering Aksa tertarik untuk tersenyum.
Dia sekarang hanya bisa mengingat tanpa bisa merasakan kehangatan Emily lagi. Usaha pencariannya telah mencapai batas, terakhir kabar yang didengarnya, Emily terlihat di salah satu kota yang berada di Jerman.
Namun, Emily menghilang lagi dengan cepat sebelum Aksa sampai ke Jerman. Pekerjaan Aksa terbengkalai, walau sesekali datang ke kantor atas permintaan Yasa.
Masalah lain pun datang menyambangi Aksa beberapa waktu lalu, Diva dikabarkan meninggal di Indonesia, dan Aksa dituntut oleh pihak keluarganya atas tuduhan pembunuhan.
Aksa sudah tidak peduli. Karena yang dia pedulikan entah berada di mana. Kasusnya pun perlahan menguap dengan sendirinya sebab tidak ada bukti kuat atas itu, dan Aksa bisa bebas kembali.
“Jangan ngelamun terus.”
Aksa menoleh, lalu spontan menerima sebuah susu kotak yang dilempar Devano padanya.
“Ck. Kak Vano kenapa, si, suka banget gangguin Aksa? Risi tau. Mana ngasih susu kotak melulu, bosen!” ujar Aksa sedikit ketus, tapi dia tetap meminum susu kotaknya karena memang kehausan sejak tadi dan stok air minumnya habis.
“Loh, biarin aja. Daripada kamu, kerjaannya nakutin para setan di sini,” jawab Devano yang membuat Aksa melirik tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Istri Pengganti
RomansaMengandung konten dewasa, konflik, comedy, romance. Anak sultan Aksa Pradipta ketika harus menikah dengan anak adopsi Emily Walther.🌹