Daddy untuk Helena

1K 83 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hai, hai, ketemu lagi sama keluarga yang lagi dilema ini😢Ih, kok, tumben ya, aku update cepet? Mumpung si Kakng Edi lagi nyangkut di pohon mangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai, hai, ketemu lagi sama keluarga yang lagi dilema ini😢
Ih, kok, tumben ya, aku update cepet? Mumpung si Kakng Edi lagi nyangkut di pohon mangga ... eh? Dah, lah, nulis aja.😆

Happy reading😘😘
.
.
.

Emily kembali ke ruangan anaknya tanpa Aksa. Perasaannya sudah semrawut kacau, dia tidak tega melihat Aksa menerima begitu banyak tekanan dari dirinya dan juga Eric. Namun, juga tidak bisa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa.

Eric belum menerima Aksa sebagai ayah kandungnya, dan Helena pun belum tahu kebenaran siapa sebenarnya pria itu. Entah harus dengan cara apa dia menjelaskan pada Helena jika sampai tahu Aksa adalah ayah kandungnya.

“Emily ....”

Sebuah suara familier terdengar memanggil namanya, Emily berusaha tidak merespons.

“Aku hanya ingin minta maaf, Emily.” Raihand mencegah Emily menerobos masuk ruangan di depan pintu.

Emily pun menetralkan emosi sebisanya. Dia tidak mungkin lupa perbuatan kurang ajar Raihand padanya kemarin.

“Apa kamu nggak liat, Rai. Luka di bibirku masih belum hilang, apalagi luka yang kamu kasih ke hatiku. Itu nggak akan pernah hilang,” ujar Emily sinis.

“Aku tau ... itu kesalahan terbesarku, Emily. Salah satu alasan aku datang ke sini, karena aku ingin meminta maaf darimu.”

“Dua puluh tahun lebih kita jadi sahabat, Rai. Tapi kamu justru merusak kepercayaanku, kamu tau gimana sifatku terhadap orang-orang yang lancang dengan harga diriku. Dan apa yang kamu lakuin kemarin, Rai? Kamu melakukan itu seakan-akan aku adalah wanita murahan!” Emily berbicara tegas. Dia sungguh kecewa dengan sikap Raihand kemarin.

Emily pun mengambil langkah lagi, tapi Raihand seakan masih belum ingin menyerah. Pria itu memegang lengan Emily.

“Aku sungguh minta maaf ....”

“Hanya karena Eric dan Helena, aku mengizinkanmu di tempat ini. Tapi untuk maaf, aku masih butuh waktu,” ujar Emily seraya masuk ruangan. Mengabaikan Raihand yang mengikutinya ke tempat anak-anak.

“Kamu nyari siapa, Lena?” tanya Emily ketika anaknya melihat ke sekeliling ruangan dan pandangannya berakhir di luar pintu.

“Om Baiknya ke mana, My? Dari tadi aku nggak liat ada om di sini. Om baiknya kerja, ya?” tanya Helena.

Emily melihat ke arah pintu, sebenarnya Aksa masih ada di rumah sakit ini. Namun, dia tidak ingin masuk selagi ada Raihand. Pria itu berkata, jika Helena dan Eric masih berhak memilih siapa yang menjadi ayah bagi mereka.

“Enggak, om lagi pergi dulu sebentar. Nanti balik lagi ke sini. Om kan, udah janji mau nemenin kamu ke dokter. Om pasti tepati janji itu, Lena.” Emily mencoba memberi sedikit pengertian, raut wajah Helena tampak tidak senang.

“Tapi omnya bakal datang, kan, My? Aku mau sama om diperiksanya, kalau bisa sama Momy juga. Aku takut ....”

“Kan, ada Daddy Rai, Lena. Kenapa harus nyari yang nggak ada, sih? Ditemenin sama Daddy Rai juga sama aja, malah lebih baik dari pada om baiknya kamu itu,” tukas Eric di tempatnya.

Mata Helena mengarah pada Raihand yang berada di antara mereka bertiga. Kemudian berkata, “Beda, Ric. Nggak tau kenapa, aku nyaman banget kalau ada di deket Om Baik. Apalagi kalau dipeluk, aku nggak pernah ngerasain takut.”

Pandangan Emily terkaburkan oleh air matanya sendiri. Andai saja Aksa dengar, pria itu pasti sangat bahagia. Walau Helena tidak tahu kebenarannya, tapi ikatan darah di antara mereka cukup terasa.

“Tunggu ... Om Baik yang kalian maksud, apa itu adalah Aksa?” tanya Raihand.

“Iya, Daddy kenal?”

“Emily, apa kau belum jujur pada Helena dan Eric tentang Aksa?” Raihand bertanya pada Emily yang langsung jadi salah tingkah.

“Gak perlu dikasih tau, enggak penting juga,” ujar Eric.

Helena mengernyit. “Emang, apa yang aku enggak tau? Om Baik itu sahabat lama Momy, ‘kan?”

“Emily, mereka sudah melihatnya. Kenapa kau masih menyembunyikan semua ini? Kalaupun kamu tidak bisa menerimaku, setidaknya izinkan mereka tahu yang sebenarnya. Mereka membutuhkan kebenaran, Emily.”

Perkataan Raihand sangat menyudutkan Emily. Apalagi kini tatapan Helena mulai dipenuhi rasa keingintahuan. Ya, mungkin sudah saatnya bagi dia untuk berbicara. Sebab, ditunda sampai kapan pun, pada akhirnya Helena akan tahu.

“Baiklah, aku bicara sekarang. Kalau Aksa memang ayah kandung Helena dan Eric—“

“Mom! Kenapa harus ngomong itu? Walau dia ayah kandungku, emangnya kenapa? Dia orang jahat yang udah ninggalin Momy!” sahut Eric terdengar tidak terima atas pengakuan Emily.

“Masalahnya dia enggak pernah ninggalin momy, Ric! Tapi momy yang meninggalkan dia! Semua itu terjadi karena salah paham, dan momy sadar kesalahan pada kalian karena nggak pernah jujur soal dia,” jawab Emily disertai isak tangis. Helena yang duduk di tepian tempat tidur hanya bisa tertunduk, sementara Eric cukup terkejut di tempatnya.

“Jadi, ini alasan kenapa Momy nggak pernah mau jawab soal ayah kami?” tanya Eric lagi.

“Momy punya alasan sendiri, Ric. Sekarang kalian sudah tahu, jadi beri waktu buat Momy kalian menjelaskan semuanya.” Raihand mengusap bahu Helena yang paling dekat dengannya, tapi anak itu segera menepis.

Helena melihat ke arah Emily, hingga terlihat jelas kebencian di sana.

“Aku benci Momy!” 

***

Sementara di tempat lain, Aksa memang masih berada di sekitar rumah sakit. Hanya saja tidak bisa menemani dua anaknya di dalam. Dia pun sekarang berada di kursi tunggu yang cukup jauh dari ruangan Eric.

Dia sedang menerima panggilan dari Nayla, ibunya datang bersama sang ayah jauh-jauh dari Indonesia setelah mendapat informasi kalau Emily sudah ditemukan.

“Jadi gimana keadaan cucu mama, Sa? Apa sakitnya serius?” tanya Nayla di telepon.

“Eric masih demam tinggi, Ma. Tapi terakhir Aksa cek dia udah mendingan, bisa masuk makanan juga walau sedikit. Kalau Helena, 15 menit lagi dia bakal periksa ke dokter spesialis soal penyakit jantungnya.”

“Mama ikut sedih mendengarnya, Sa. Pokoknya kamu harus tetep stay di sana, ya. Sebentar lagi mama sampai rumah sakit.”

Aksa mengangguk. “Baiklah. Mama hati-hati di jalan, ya.” Dia pun menutup panggilan dan memasukkan gawainya ke saku celana.

Begitu banyak orang di sini, tapi pikiran Aksa masih bergulung di tempat Eric dan Helena. Dia gelisah, dan tidak bisa berhenti memikirkan mereka.

Dia pun memutuskan berbalik arah dan akan mendatangi ruangan Eric sekali lagi. Masa bodoh dengan kehadiran Raihand, bukan Aksa namanya kalau menyerah begitu saja.

Jam di tangannya sudah menunjukkan waktu pemeriksaan Helena hampir tiba, sebab Aksa sudah mendaftarkan namanya di paling depan dan dia tidak boleh terlambat.

Bruk!

Tiba-tiba saja ada seorang anak menubruknya dari arah depan, anak itu terjatuh dan tampak kelelahan sekali.

“Are you okay?” tanya Aksa.

“Ma-maaf, aku nggak sengaja nabrak Om—“ Perkataan anak itu terhenti, dua mata Aksa membulat melihat wajah pucat Helena di depannya.

“Helena!” Suara seorang wanita menyeru keras, ternyata itu adalah Emily. Dia terlihat kelelahan juga.

“Helena?” Aksa terkejut, wajah Helena sudah basah dengan keringat. Dadanya kembang-kempis tidak bisa mengatur napas. “Kenapa kamu lari-larian, Lena? Ya, ampun sampe keringetan. Sebenernya kamu kenapa, Lena? Kamu lagi sakit, nggak boleh lari-larian kaya gini.”

Aksa segera mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap keringat di wajah anaknya, sesudah itu menggendong Helena ke tempat yang lebih aman dari tengah jalan.

“Ini sebenarnya ada apa, Emily? Kenapa Helena bisa ada di sini?” tanya Aksa pada Emily yang terlihat sedih di sebelahnya.

“Maaf, Sa. Sesuatu terjadi selama kamu enggak ada. Nanti aku jelaskan, tapi sekarang kita harus bawa Helena. Dia butuh perawatan.”

Aksa mengernyit mendengar penuturan Emily.

“Daddy ....”

Langkah Aksa terhenti mendengar samar-samar kata itu di telinganya.

“Daddy, i miss you.” Helena menangis tersedu-sedu, dua lengannya melingkar erat di tengkuk Aksa. “Aku sayang Daddy. Aku rindu Daddy.”

Aksa mempertajam indra pendengarannya, tapi dia sungguh yakin bahwa kalimat itu tertuju padanya dari Helena.

“Kamu memanggil saya apa?” Aksa masih belum percaya. Apa Emily sudah menceritakan semuanya?

“Daddy ... aku nggak lari-larian, kok. Cuma nggak sabar pengen nyari Daddy, takut Daddy pergi dan enggak balik lagi,” ujar Helena pelan. Dia pun melihat ke arah Aksa.

“Helena, kamu—“

“Aku bahagia banget bisa ketemu Daddy. Bisa meluk Daddy kayak gini, aku pikir cuma terjadi di mimpi aja,” ujar Helena sangat pelan. Satu tangannya terangkat dan memegang pipi Aksa dengan senyum manis. “Makasih banyak karena Daddy mau ngasih kasih sayang buatku selama satu minggu ini. Aku makin sayang sama Daddy, Daddy orang baik seperti bayanganku selama ini. Sekarang, aku nggak bakal sedih lagi kalau emang harus pergi.”

Aksa menggeleng. “Ini masih belum cukup, Lena. Kamu enggak boleh pergi ke mana pun sebelum daddy bisa membahagiakanmu lebih dari satu minggu kemarin!” kata Aksa ketika napas Helena mulai terputus-putus dan semakin pucat.

Aksa membenarkan posisi gendongan pada Helena, anak itu sudah tidak sadarkan diri. Bahkan napas di hidungnya tidak terasa lagi di jari telunjuk Aksa saat memeriksanya.

“Kamu jangan tinggalkan daddy, Lena. Please ... kasih kesempatan untuk daddy membahagiakanmu.” Aksa mulai melangkah cepat seraya berteriak seperti orang gila, mencari bantuan ke perawat yang lewat di sana.

Setelah ada yang membantu, dia meletakkan Helena di brankar dan mengikuti ke mana arah para perawat itu membawanya.

Sampai di sebuah ruangan, mereka tertahan tidak diizinkan masuk. Emily sudah menangis keras di sebelahnya, Aksa berusaha agar menjadi tempat yang nyaman bagi wanita itu.

“Aku belum siap kehilangan Lena, Sa.”

“Semua orang enggak akan pernah siap menghadapi semua ini, Emily. Sekarang kita cuma bisa berharap dan berdoa, supaya Helena bisa kembali bersama kita lagi,” ujar Aksa seraya memeluk erat Emily yang masih menangis. Sejujurnya, Aksa ingin sekali menangis. Namun, dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Emily sekarang.

Dia mengerti kedukaan wanita ini, jika dia sama-sama terlihat rapuh. Siapa yang akan menjadi tiang penyemangat mereka?

Dilema Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang