Perpisahan

1.2K 99 8
                                    

Aksa pulang membawa kecemasan dalam dirinya. Cemas memikirkan keadaan orang tua, Diva yang divonis penyakit serius, juga Emily yang menuntut perceraian darinya.

Dia ingin sekali berlari dari masalah, atau bersembunyi dari kenyataan jika bisa. Namun, dia sadar satu masalah tidak akan selesai dengan membuat masalah baru.

Kali ini, Aksa memutuskan akan menghadapinya walau risiko terpahit yang didapatnya.

“Papa?” Langkah Aksa terhenti ketika melihat sepasang mata dengan kilat kemarahan terpancar jelas di hadapannya.

Detak jantungnya berpacu lebih cepat, tangan sang ayah sudah terangkat tinggi ingin menyambar sasaran tepat. Aksa terpejam, dia sudah pasrah apabila mendapat tamparan keras dari Yasa lagi.

Namun, setelah beberapa detik berlalu. Tidak terjadi apa-apa. Aksa memberanikan diri kembali membuka mata untuk menghadapi kemarahan Yasa.

Napas ayahnya terengah-engah dengan dua mata memerah menahan amarah keras. Aksa hanya bisa tertunduk dan tidak berdaya.

Jam di dinding telah menunjukkan pukul 23.00. Dia baru pulang, wajar sekali jika Yasa marah. Apalagi masalahnya dengan Emily belum ada kejelasan.

“Harusnya kamu papa hukum keras, Sa. Tapi papa sadar semua kemampuan yang papa punya pasti nggak akan berpengaruh terhadap kamu,” ujar Yasa.

“Aksa bisa jelasin semuanya, Pa—“

“Penjelasan kamu udah basi.” Yasa berkata datar. Dia memberikan sebuah surat pada Aksa sedikit kasar.

Belum apa-apa tangan Aksa sudah gemetar. Dia terlalu takut untuk membuka kertas ini apalagi membaca isinya.

Sampai dia lihat deretan kalimat menyeramkan itu, perasaan Aksa seolah diterjunkan dari ketinggian tanpa pengaman. Ada nama Emily juga namanya tertera jelas di surat tersebut.

Kini bukan lagi sebuah candaan atau kalimat omong kosong yang diinginkan Emily. Namun, sebuah kepastian dibawa ke mana pernikahan mereka.

“Ini yang kamu mau, Sa?” tanya Yasa.

Aksa membisu. Mulutnya terlalu kaku untuk bicara, dia juga kehilangan kemampuan membalas kalimat pedas seperti serangan senapan.

“Sebenarnya apa yang kamu cari di luar sana? Wanita mana lagi yang kamu mau?” tanya Yasa lagi yang semakin membuat Aksa mati kata.

“Coba papa tanya. Apa kurangnya Emily di mata kamu, Sa? Dia kurang cantik? Kurang baik? Kurang pengertian?”

“Papa, udah! Tolong jangan menghakimi Aksa, aku mohon. Ini semua atas kemauanku, bukan Aksa. Kalau papa mau marah, marahin aku aja.”

Terdengar suara Emily yang mendadak datang di antara pembicaraan Aksa dan Yasa. Dia sudah terisak menangis, dua matanya pun sudah sembap dengan wajah pucat.

Aksa belum menjawab. Dia sibuk memperhatikan Emily dari atas sampai ujung kaki. Mencari titik di mana dia bisa menemukan kekurangan pada Emily.

Nihil. Aksa merasa buntu, padahal dulu dirinya selalu membenci Emily luar dalam.

“Papa bukan menghakimi. Papa lagi nanya! Sekiranya ada kekurangan dalam diri kamu, kita cari jalan keluarnya. Kamu juga harus melakukan hal itu buat Aksa, Emily. Apa kurangnya Aksa di mata kamu? Biar kita sama-sama bisa introspeksi diri!” jawab Yasa tegas. Dia mengabsen dua anaknya. “Coba bilang ke papa, jangan diem aja!”

Emily tertunduk, Aksa ikut merenung. Mereka berdua sama-sama berada di posisi serba salah. Sejak awal pernikahan, tidak pernah ada niatan baik. Pada dasarnya mereka tidak ingin mengecewakan orang tua.

Dilema Istri PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang