Break Up to Make Up

1.1K 72 22
                                    

DENISE POV

"Dita!"

Perempuan itu pingsan di pelukanku, gak lama setelah aku datang. Aku pun memegang kepala dan badannya.

Panas. Dita sepertinya demam karena kehujanan.

Dengan cekatan, aku langsung menggendongnya menggunakan teknik bridal style, lalu membawa dia ke dorm yang cuma beberapa langkah dari tempat kami sekarang. Padahal, sebelumnya aku kelelahan bukan main karena habis berlari selama 20 menit, tapi melihat Dita yang gak sadarkan diri begini membuat rasa lelahku hilang begitu saja.

Saat kami berhasil sampai ke dorm, member lain langsung panik ketika melihat Dita yang gak sadarkan diri di pelukanku. Tanpa banyak bicara, mereka langsung membantuku membawa Dita ke kamar. Mereka juga membantuku mengganti pakaian Dita yang basah dengan pakaian baru yang kering dan hangat. Léa bahkan menyiapkan kompres buat Dita.

"Kamu akhirnya datang, Nise," kata Jinny saat situasi sudah kondusif. Meski Dita masih belum sadar, tapi kami sudah mengkompres dahinya dan mengganti bajunya, biar panasnya reda. "Kenapa tiba-tiba datang?"

Aku masih serius memperhatikan pacarku yang lagi terlelap. "Dita called me."

"Tapi, dia bilang kamu gak angkat teleponnya."

Aku tersenyum kecil. "Entahlah, aku juga bingung kenapa tiba-tiba ada di sini."

Jinny menepuk-nepuk pundakku pelan. "Ganti bajumu, Nise, kamu juga basah kuyub. Nanti, kalau kamu juga sakit, siapa yang bakal merawat Dita?"

Kini, aku menoleh ke arah Jinny dan memberikannya senyuman yang memperlihatkan lesung pipitku, lalu mengangguk. Kemudian,, perempuan berambut blonde itu akhirnya berdiri dan pergi meninggalkan kami berdua.

"Aku gak marah sama kamu, kok," katanya sebelum benar-benar keluar dari kamar aku, Soodam, dan Dita. "Jadi, kamu manfaatkan lah kesempatan ini untuk memperbaiki hubunganmu dengan Dita. Kasihan dia, nangis terus dari semenjak kejadian itu."

Aku mengangguk lagi. Setelah itu, Jinny pun menutup pintu kamar dan benar-benar meninggalkan kami berdua di sini.

Melihat Jinny yang sudah pergi, aku langsung mengganti bajuku di kamar karena malas kalau harus ke kamar mandi segala. Aku juga gak lupa buat mengeringkan rambutku dengan hairdryer.

Setelah selesai, aku menghampiri Dita lagi dan duduk di sebelahnya. Tanganku memegang tangannya dengan erat, menciumnya beberapa kali, lalu mengusap-usapnya lembut.

"Dit, I'm so sorry," kataku pelan. Tiba-tiba, air mata kembali muncul di ujung mataku dan memaksa minta dikeluarkan. "I'm sorry for everything. I don't deserve you at all."

Dengan itu, aku menundukkan kepalaku dan menangis dalam diam. Berada di sini, di samping Dita, membuatku menyadari banyak hal. Aku sangat kekanak-kanakan sampai minta break semudah itu. Gak mau mendengarkan Dita terlebih dulu dan ketika dia udah menjelaskan semuanya, aku masih tetap gak mau mendengarkan dia.

"I don't deserve you." Kata-kata itu aku ucap berulang kali seperti mantra, sementara air mataku terus mengalir di pipiku.

"Nise..."

Mendengar itu, aku langsung mengusap air mataku dan mengangkat kepalaku. Ku lihat, Dita mengerjapkan matanya berkali-kali, sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya dan melihatku. Dia sepertinya kaget saat menyadari kalau aku di depannya.

"I'm not dreaming, right?" tanya dia padaku. Sambil mengatakan itu, tangannya kini memegangi wajahku seperti memastikan bahwa aku ini nyata, bukan cuma khayalan. "No, I must be dreaming, right?"

A Day in the Life of D&dTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang