"Raka, enggak mau," tegas Rassya mendengar penuturan saudara kembarnya, Rassya. Dihadapannya, Rassya menghembuskan nafas kasar. Susah sekali diajak bekerja sama.
"Lo harus mau. Cukup ikuti perintah gue, abis itu lo pergi menghilang dari mereka."
Raka menggeleng pasti, perintah macam apa itu. Menjerumuskan seseorang kedalam suatu masalah? Yang tanggung jawab pasti dirinya juga. "Gue gak bisa lakuin itu," ucap Raka.
Tatapan Rassya terlihat sinis. "Kenapa gak bisa? Lo udah kena hasut?"
"Suudzon mulu hidup lo, makannya gak berkah. Orang baik dijahatin, dasar."
"Jadi, lo ngebela mereka daripada gue?"
"Bukan ngebela, emang mereka orang baik. Lo, manusia ga punya hati seharusnya ga usah dikasih hati sama orang lain," ujar Raka begitu lantangnya. Ingat, Raka berbeda. Dia masih menggunakan akal sehatnya dalam bertindak.
Brak.
Rassya memukul meja cukup kencang. Namun tak membuat kegaduhan di Ruang besuk itu. "Gue lagi ga mau debat, Raka!"
"Siapa yang mau debat? Orang gue juga ogah." Raka menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Rassya berdehem menetralkan suaranya. Kemudian, mencondongkan kepalanya menatap intens manusia dihadapannya ini.
"Lo cukup lakuin apa yang gue minta. Masalah tanggung jawab, biar gue yang nanggung."
"Lo gila? Sono ke Rumah sakit jiwa."
Rassya tersenyum meremehkan, memutar bola matanya malas. "Gue gak peduli kalau harus mendekam di Sini lebih lama lagi. Asalkan dendam gue terbalas."
"Harusnya lo sadar atas apa yang lo perbuat. Balasan yang bakal lo dapat, bukan cuma didunia tapi diakhirat juga."
Wajah Rassya hanya menanggapi dengan acuh tak acuh. Mengangkat bahunya seolah-olah itu hal yang biasa. "Peduli amat gue."
"Lo punya masalah itu, jangan melibatkan orang lain! Masalah lo sama bokapnya, bukan sama Prilly."
"Lo gak ngerti," ujar Rassya, tangannya bertumpu menahan dagu.
"Apa yang enggak gue ngerti? Memang begitu faktanya."
Rassya menatap tajam kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Kalo lo gak mau, biar gue yang ngelakuin."
Raka berdiri bergegas untuk pergi dari tempat itu juga. Dia hanya menghabiskan waktunya saja menghadapi saudara yang tak sejalan dengannya. "Terserah. Lo adalah manusia yang berumur dewasa tapi otak anak sd."
"Maksud, lo apa?!" Rassya melotot mendengarnya.
Raka menghampiri pak polisi yang tak jauh darinya, tangannya ia masukkan kedalam saku celana jeans nya. "Pak, saya sudah selesai menjenguk dia. Terima kasih." ucapnya. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, ia sempat menoleh.
"Pengkhianat tetap pengkhianat," desis Raka sama memicingkan matanya lalu melangkah pergi.
"Kurang ajar," gumam Rassya melihat kepergian kembarannya dengan mata nyalang. Tangannya sudah ditahan kuat-kuat oleh satu polisi penjaga.
***
Prilly memajukan langkahnya sembari memegang jas kebanggaan suaminya. Senyumnya terpatri diwajah manisnya, meski ada guratan sedih diwajahnya, namun dia menutupinya.
"Jangan sedih gitu dong, kan aku gak tega ninggalinnya," ujar Ali sambil membelai lembut pipi chubby nan mulus milik Prilly.
Tak ada jawaban, Prilly malah terdiam dan fokus menatap mata tajam Ali. Bibirnya terkatup rapat, tak lama ia menggelengkan kepalanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Captain
Fanfic[On Going] [Sedang di revisi] Hanya sebuah kisah tentang seorang pilot tampan menikahi wanita cantik dan manis karena sebuah perjodohan. Pilot tampan itu adalah Aliando Syarief. Seorang pilot yang bertanggung jawab dan profesional terhadap pekerjaan...