74

293 26 35
                                    

Yuvin's POV


Yohan bergerak kecil saat aku tengah sibuk merapikan folder foto di galeri ponselku.

Ah, rupanya ia sudah sadar, pikirku.

Dalam sekejap, ia telah berada di atasku. Kedua tangannya meremat bahuku, sementara ia semakin mengikis jarak di antara kami.

Ia mengecup bibirku dengan lembut, tanpa lumatan. Dan aku? Tentu saja aku tidak melakukan perlawanan, karena itu hanya akan membuatnya semakin merasa tertekan.

"Han, are you okay?"

Aku bertanya padanya begitu ia melepaskanku dan menundukkan kepalanya. Ia menanggapiku dengan menggeleng.

"Aku mau ketemu Seobin, kak.." lirihnya.

"Han.. maafin kakak ya? Harusnya kamu yang pertama kakak kasih tau," ujarku seraya menangkup sebelah pipinya yang kini begitu tirus.

Ia bersandar pada telapak tanganku, seulas senyum teduh miliknya terkembang.

"Seenggaknya.. kita udah ketemu sebelum dia pergi. Kapan kak?" tanyanya.

"Sepulangnya dia dari rumah sakit, abis nemenin kamu. Entah pagi atau malemnya dia udah nggak ada. Harusnya kakak lebih peka ya? Dia tiba-tiba nyuruh anak-anak yang deket sama dia ngumpul semua, dia masakin kita. Only if I knew it would be his last. Serim sampe udah beli cincin.. kakak pikir dia sebenernya lebih ngerasa."

"How is he? Gimana Serim? Apa dia baik-baik aja?"

"Well..  he's gradually getting better. Dia udah nggak susah makan sekarang."

Yohan mengangguk lalu menyingkirkan tubuhnya dari atasku dan kembali berbaring di kasurnya, menatap langit-langit.

"Kak.. kenapa ya nggak aku aja yang tukeran sama Seobin? I've got nothing else left.. sementara dia? It was merely a new beginning for him. Dia baru aja mau ngerasain bahagia sama keluarga kecilnya. Fate is indeed so cruel," keluhnya.

"Kamu nggak boleh ngomong gitu Han. Bersyukur.. kakak nggak akan bosen ingetin kamu buat bersyukur."

"Aku tau kak.. tapi buat apa? Junho aja udah nggak sayang sama aku. Buktinya dia malah ngebuang aku kesini.. dan dia juga sama sekali nggak ada jengukin aku. Apa yang dia lakuin di luar sana?" Yohan menitikkan air matanya yang lantas buru-buru ia seka.

"Dia nggak kemana-mana, Han. Dia cuma mau ngasih waktu buat kamu sendiri. Dia tau, kamu nggak akan membaik kalo ketemu dia terus, sementara kamunya masih nyimpen dendam dan belum mau maafin dia," aku berusaha membuat nada suaraku setenang mungkin. Rasanya, ia benar-benar menguji kesabaranku.

"Aku mau pulang, kak. Nggak ada gunanya aku dibiarin disini. Aku nggak gila, kak. I'm just desperate..."

Aku menariknya ke dalam dekapanku, membiarkannya menangis sesenggukan. Kami berdiam di posisi tersebut hingga ia lelah dan tangisannya mereda.

"You have to be tough, Han. Di saat kamu mau nyerah, inget kalo kamu punya anak yang butuh kasih sayang kamu. Jangan bikin dia bernasib sama kayak Byeonghwi. Hargain segala sesuatunya selama masih ada, Han. Kamu nggak tau apa yang bakal terjadi ke depannya. Nggak selamanya kamu akan ngerasa nggak tentu arah kayak gini. Kakak percaya kamu lebih kuat dari ini," ujarku sembari mengusapi punggung ringkih Yohan.

Yohan mendusali dadaku, sebelum ia kembali meraup bibirku. Kali ini, ia memberi lumatan meski aku tidak membalasnya. Ia pun melepaskanku dan menatapku terluka.

"Kok kakak diem aja? Udah ada orang lain ya di hati kakak?" tanyanya lirih. Mau tak mau, aku mengangguk. Aku tidak ingin lagi berbohong padanya.

"It's been a while, Han. We just can't keep doing this. It's wrong. Dan Junho masih suami kamu. Kalo kamu kayak gini, itu bikin kamu nggak ada bedanya sama dia. Bales dendam tuh bukan jawaban, Han. Kakak tau, kamu udah bersabar buat terlalu lama..."

THE TRUTH THAT LIES WITHIN 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang