21

414 45 144
                                    

"Kak.. boleh ambilin aku minum?" pinta Yohan.

Waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Selepas makan siang, yang Yohan dan Yuvin lakukan hanya menonton film di kamar, sama sekali tidak beranjak dari kasur. Yohan memang melakukan segala cara agar ia teralih dari kesedihannya.

Yuvin pergi ke dapur, dan kembali dengan segelas susu serta semangkuk sereal untuk cemilan.

"Ini punya Seongmin," kekeh Yohan.

"Nggak apa, kalian 'kan sama-sama masih bayi. Dimakan, Han. Kamu butuh yang manis biar tenaganya pulih," Yuvin mengusak surai Yohan, membuat si empunya menyunggingkan senyum manisnya.

Yuvin pun buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia merasa bodoh telah menyetujui permintaan Yohan untuk menghabiskan waktu bersama hari itu. Bagaimana pun juga, Yohan adalah cinta pertamanya... dan ia pun cinta pertama Yohan, meski tidak dalam waktu yang bersamaan.

Ia tidak sekuat itu.. ia takut bahwa ia hanya akan jatuh lagi, namun kali ini tanpa harapan karena pemuda manis itu telah terikat dengan orang lain.

"Kak.. nanti mau apa buat makan malem? Aku mau masak buat anak-anak. Mereka 'kan nanti kesini lagi," Yohan tersenyum lebih lebar.

"Kita delivery aja ya, kakak yang bayarin. Kamu istirahat.. keras kepala banget sih?"

"Tapi aku pengen sibuk kak. Kalo diem doang mataku panas.." Yohan terkekeh miris.

"Han, kalo kamu emang mau nangis, keluarin aja," Yuvin mengusap bahu ringkih Yohan. Yohan pun buru-buru menggelengkan kepalanya.

"Nggak mau kak.. takut nggak bisa berhenti."

"Kamu udah hubungin Junho hari ini? Udah bilang belum, kalo kamu udah keluar dari rumah sakit?"

"Nanti aku bilang kak.. tenang aja, pasti uang kakak dia balikin.." angguk Yohan.

"Han, maksud kakak bukan itu. Bukan masalah uangnya.. tapi dia ada nanyain kamu nggak?" Yuvin mendecakkan lidahnya dengan tak sabaran.

Yohan menggeleng, bibir bawahnya ia cebikkan.

"Nggak ada kak.. aku juga males ngontak duluan. Lebih sedih liat centang abu daripada centang satu. Dia mah baru bakal bales kalo udah luang banget soalnya, jam segini mah masih ribet mau manggung," pada akhirnya, Yohan berkata jujur.

"Masa harus kakak marahin? Harus gitu kakak yang kirimin dia pesan? Bilang kalo kamu keguguran baru dia bakal nunjukin rasa peduli? Keterlaluan banget.." dengus Yuvin.

"Nggak kak.. tolong jangan. Aku nggak berencana ngasih tau Junho sama sekali. Biarin aja ini jadi rahasia aku ya? Aku nggak mau dia mikir yang aneh-aneh.." ujar Yohan sembari menatap Yuvin memohon. "Kak, ayo bilang mau makan apa. Tanganku udah gatel mau masak," Yohan kembali menyunggingkan senyumnya, meski mereka sama-sama tau bahwa itu dipaksakan.

"Delivery. Nurut sama kakak, atau kakak kasih tau Junho?" ancam Yuvin. Seketika bahu Yohan melorot.

"Kak Yuvin mah sekarang gitu. Maunya Kak Yuvin yang dulu, yang selalu excited kalo aku mau ngelakuin sesuatu..."

"Well, I was in love with you at that time. Does it have to be the same now? Nggak 'kan? Udah gede, Han. Jangan kekanak-kanakan gitu," ujar Yuvin lembut. Pada akhirnya, ia luluh. Yohan yang selalu mengingat hal-hal kecil mengenai masa remaja mereka adalah yang terbaik, menurutnya.

"Yaudah.. aku ngapain sekarang? Udah bosen nonton kak.. udah 3 jam lebih," Yohan lagi-lagi mencebikkan bibirnya.

"Gimana kalo kita coba bikin kue?"

THE TRUTH THAT LIES WITHIN 2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang