"Kau besar di panti ini? Atau hanya sekadar sukarelawan?"
"Dan ... aku tak pernah melihat orang tuamu."
Bibir Ji-Woon kelu. Tenggorokannya seakan tercekik ketika kalimat itu terlontar. Seketika ia meneguk salivanya, yang justru membuat tenggorokannya makin tercekik. Manik legam itu menatap kosong tanah, sesekali memainkan jemarinya. Gugup. Keringat sebesar biji jagung turut ambil alih di pelipis Ji-Woon, hingga ia mengelap kilat.
Sementara Hye-Rin melirik sekilas ke samping. Apa yang diucapkan Bibi Byun ada benarnya. Ia dapat melihat guratan cemas di balik cahaya lampu taman yang temaram. Setelahnya, Ji-Woon menghela nafas. Mencoba menenangkan pikirannya serta menyembunyikan wajahnya yang seketika pucat pasi.
"Apa urusannya denganmu?" tanya Ji-Woon, sesaat kemudian.
"Tidak ada, aku hanya penasaran."
"Aku besar di panti."
Jawaban singkat Ji-Woon membuat Hye-Rin tersenyum getir. "Lalu? Apakah kau pernah bertemu orang tuamu?"
"Entahlah." Ji-Woon mengendikkan bahu. "Sedikit asing mengingat wajah-wajah itu."
Hening. Lagi-lagi merayap membentuk atmosfer tegang. Keduanya sama-sama membisu. Sedangkan, angin kembali berhembus. Memainkan beberapa anak rambut dua insan itu. Bulu kuduk mereka meremang, seolah mendukung atmosfer tegang di sekitarnya.
"Lalu?"
Hye-Rin menoleh. Dahinya membentuk kerutan. Menatap intens Ji-Woon yang maniknya terus saja menatap lurus ke depan. Sorot matanya benar-benar kosong.
"Kau tak mendengar kisah lain dari Bibi Byun?"
Hye-Rin menggeleng.
"Kau tahu alasanku masih bertahan sampai saat ini?" Ji-Woon menghela nafas untuk kesekian kalinya. Bersiap melontarkan kalimat berikutnya yang seolah tersendat di tenggorokannya. "Masih banyak orang yang lebih merasakan sakit, bahkan lebih pedih dari apa yang aku alami saat ini. Jadi untuk apa aku menyerah dan menangis sepanjang malam hanya untuk rasa sakit sekecil biji jagung. Dan jika di bandingkan dengan rasa sakit orang lain, itu tak ada apa-apanya."
"Kejadian 11 tahun lalu, biarlah menjadi rahasia. Aku tak ingin membahasnya," lanjutnya.
"Maaf," lirih Hye-Rin setengah berbisik. Lantas menghela nafas samar. Ia merutuki kebodohannya, dan dengan santai menanyakan perihal keluarga laki-laki itu. Hye-Rin menunduk, menenggelamkan wajahnya dengan surai gelapnya yang menutupi sebagian guratan rasa bersalah yang menghiasi.
Sontak manik kecoklatan itu terbelalak dan refleks menoleh ke samping tatkala merasakan seseorang tengah menyibak surai panjangnya. Netranya lantas bertemu dengan netra teduh yang terkadang dingin itu. Dan di detik yang sama, hatinya menghangat. Sudut bibir laki-laki itu sedikit mengembang, sesaat membuat Hye-Rin terhipnotis.
Ingin sekali Hye-Rin menampar pipinya saat ini. Apakah hari ini ia tak bermimpi? Tolong, seseorang tampar pipi Hye-Rin. Pastikan ia berada di alam nyata.
Ji-Woon tersenyum!
Senyum teduh. Senyum yang baru kali ini Hye-Rin lihat bahkan setelah bertahun-tahun mengagumi laki-laki itu. Ini pertama kalinya maniknya menangkap senyum hangat nan teduh dari bibir kemerahan Ji-Woon.
Namun seketika lamunannya buyar ketika sebuah lagu mengalun pelan, memenuhi kepalanya. Perlahan ia meraba sesuatu. Sebuah earphone yang telah terpasang di telinga kirinya. Sementara sisi lainnya berada di telinga Ji-Woon.
Ya Tuhan, Hye-Rin ingin melompat kegirangan sekarang. Bagaimana bisa tatapan teduh dan senyum tipis itu berhasil menghipnotisnya. Bahkan ia tak sadar jika earphone itu telah mengait di telinga kirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, High School!
JugendliteraturMoon Hye-Rin, gadis itu menyukai Lee Ji-Woon. Laki-laki yang dikaguminya sejak duduk di bangku SMP. Namun, Ji-Woon tak pernah membalas perasaan gadis itu. Hingga suatu ketika, datang anak baru bernama Park Yoo-Seok yang menyatakan cinta padanya di h...