Pria ini memang menyebalkan, tapi kadang perkataannya bijak juga. Sekarang aku cukup yakin kalau dia memang cerdas, yah meskipun kelakuannya terkadang seperti preman."Heh, kau akan tetap di situ?!"
Ku alihkan pandanganku pada Namjoon, mendapatinya tengah berdiri menatapku dengan kedua alis mengerut. Menyadari kalau bel masuk pembelajaran akan segera berbunyi, aku berdiri lalu berlarian kecil mendekati Namjoon.
Yaps! Ku putuskan untuk memanggilnya Namjoon saja, tanpa embel-embel 'Kak' di depan namanya. Menurutku panggilan Kak terlalu bagus untuk Namjoon yang notabene-nya selalu bertindak sekaligus berucap kasar.
"Aku cuci dulu tupperware-nya, besok akan ku kembalikan," katanya kemudian berlalu meninggalkanku.
Kelas kami hanya beda lantai. Aku di lantai dua, sedangkan Namjoon di lantai tiga. Ku hela napas gusar kala kakiku terhenti tepat di ambang pintu kelas.
Jika disuruh memilih, lebih baik aku belajar di rumah sendirian. Aku tidak mau di sini, rasanya membosankan sekaligus menyakitkan.
"Kudengar Kak Seokjin tadi marah-marah ya di kelasnya? Duh kenapa ya?"
Ah iya, aku belum bertemu Jinie seharian! Pikiranku tak tenang mendengar perkataan mereka. Jinie kenapa? Dia baik-baik saja kan?
Tanpa pikir panjang aku segera berlari keluar kelas menuju kelas Jinie. Tak peduli dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhku, aku khawatir Jinie kenapa-napa.
"Permisi, Kak," ucapku sopan.
Atensi murid kelas Jinie kini mengarah padaku dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Aku terdiam bungkam seraya menggigit bibir bawahku gugup, tatapan mereka seperti mau membunuhku.
"Tidak ada Seokjin di sini, dia dipanggil kepala sekolah karena memecahkan jendela," terang seorang pria berambut pirang seraya menunjuk jendela yang sudah pecah.
Entah aku salah lihat atau tidak, tapi pada pecahan kaca itu terlihat darah. Spontan aku berlari menuju ke ruangan kepala sekolah.
Jinie-ku tidak boleh terluka.
Sambil berlari, sesekali aku menyeka air mata yang hampir jatuh. Aku menyesal, seharusnya aku tidak marah padanya. Lagipula kejadian kemarin sebenarnya sudah sering terjadi pada kami.
Lalu kenapa aku begitu marah? Aku pun tidak paham dengan perasaanku sendiri.
Napasku tersengal, kedua pria yang duduk saling berhadapan kini menatapku. Jinie, matanya sedikit membulat sedangkan pak kepala sekolah memandangiku seraya menggeleng.
"Pak, kumohon nanti saja memarahi Kak Seokjin nya, tangannya terluka dan harus segera diobati."
Pak Jaesun nampak terkejut, dia berdiri lalu berjalan mendekati Jinie. Tangan kanannya atau lebih tepatnya kelima jari Jinie penuh dengan darah yang hampir mengering.
"Kenapa kau tidak bilang?!" bentak Pak Jaesun.
Kulihat Jinie tersenyum miring memandangi wajah pak kepala. "Lukanya sangat jelas padahal, kau saja yang tidak melihatnya, Pak."
Tanpa persetujuan Pak Jaesun, aku menarik Jinie keluar berniat untuk membawanya ke UKS. Namun tiba-tiba saja dia menarikku hingga kini posisi kami saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
Deruan napas Jinie bahkan terasa mengusap lembut wajahku.
"Jangan dekat-dekat dengan Namjoon."
Alisku terangkat dan spontan aku langsung menjauhkan tubuhku dari Jinie. Kami saling diam cukup lama, dia bahkan masih memandangiku tanpa mengubah mimik wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
another day || knj ✓
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Kim Namjoon dan Jeong Hanira. Kedua insan yang sama-sama merasakan bahwa cinta pertama, tak selalu berarti sebagai cinta sejati. Gambar yang ada di cerita ini di ambil dari pinterest dan sumber lainnya.