Siap untuk nangis?.
.
.
Langkahnya tertitah, sekali dia terjatuh namun semangatnya tidak pernah surut. Kaki Alia terus mencoba melangkah ke lobi sekolah.
Dengan senyum yang terus terpampang jelas di wajahnya, ia terus melangkahkan kakinya.
"Woy kaki lo pincang?!"
"Udah bodoh, pembawa sial, banalu dan sekarang pincang. Hahaha... Ga bisa jalan lo?!"
"Orang kayak gitu ga pantes hidup!"
Sangat sakit mendengarkan hinaan dari banyak orang. Tapi untuk kali ini Alia tidak mau memikirkan hal itu.
Alia duduk di kursi, ia senang karena hari ini tidak ada sampah atau kotoran di meja dan kursinya. "Makasih Tuhan."
"Alia!" teriak Wenda.
Alia tersenyum manis ke Wenda. Namun senyum Wenda surut ketika melihat luka memar di tangan dan di kaki Alia.
"Kaki sama tangan lo kenapa lagi? Jatuh? Jawab jujur." tukas Wenda.
"Aku ga pa-pa kok Wen." jawab Alia yang mengalihkan pandanganya pada papan tulis.
"Gue ga nanya kabar lo, gue nanya tangan sama kaki lo kenapa?" seru Alia.
"Ini kado dari Papa." jawab Alia.
Seketika Wenda tertawa namun saat itu juga air mata Wenda keluar. Ia tertawa dan menangis, rasanya sangat sesak sekali mendengarkan jawaban dari sahabatnya itu.
"Lo bilang kado Alia? Mana ada kado berupa luka? Mana ada Alia?" tanya Wenda yang tak habis pikir dengan Alia.
"Udah berapa tahun aku ga dikasih kado sama Papa, dan Papa selalu lupa sama aku. Baru sekarang Papa ngasih aku kado, indah banget kan?" tanya Alia yang memperlihatkan luka dikakinya.
Wenda menangis dan menundukan kepalanya, rasanya ia tidak bisa menahan tangisnya. Rasanya sangatlah sesak mendengarkan ucapan yang keluar dari Alia.
"Kalo ini kado dari Mama Wen, bagus kan? Menurut kamu gimana? Mungkin ini kado saat aku ultah Wen." lirih Alia yang juga memperlihatkan luka ditangannya.
Alia meringis namun segera tertawa kembali. "Kado yang terindah dari Papa sama Mama. Bahkan Kak Claudy yang anak kesayangannya aja ga pernah dapetin kado kayak gini Wen. Aku senang banget."
"Walau aku ga pernah dapet pelukan, usapan tangan dari Papa dan Mama tapi setidaknya aku dapat tamparan, pukulan dari tangan mereka Wen. Setidaknya tangan mereka membekas di tubuh aku walau harus caranya kasar dan menyakitkan." lanjut Alia.
"Lo bodoh Alia. Mana ada orang tua yang nyakitin anaknya sendiri." tukas Wenda.
"Aku kan udah bilang kalo Papa sama Mama ga nyakitin aku, mereka ini ngasih kado dalam bentuk kayak gini." seru Alia.
"Lo pura-pura bodoh? Berhenti Alia." ujar Wenda.
"Biar kayak gini aja Wen, aku pura-pura bodoh."
"Jelas Kak Claudy ga pernah dapat kado kayak gitu karena dia anak kesayangan. Sedangkan lo? Lo ga capek Alia?" sungut Wenda.
"Aku itu ga di anggap sama Mama, tapi aku mau nanya sama kamu. Selama ini siapa yang Mama pukulin? Siapa yang Mama tampar? Siapa yang selama ini bersih-bersih rumah? Siapa selama ini yang menjadi bulan-bulanan bullyan di sekolah? Aku ini udah mati atau gimana Wen?" cecar Alia dengan tawanya, jika di lihat dari ekspresinya dia tidak merasakan sakit padahal jelas dia sangat sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALIA DAN LUKA
Teen Fiction[ HARAP FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA ] Sedih, jangan dibaca kalo gak mau nangis.