Waterfall 25

9K 1K 184
                                    

Tap your star! 🌟






"Apa kabar, bang?"

Dengung yang baru saja lolos dari bibir Shaka adalah kalimat pertama yang Mahen dengar pagi ini. Secara kebetulan mereka bertemu di lorong kelas 10 IPS, kelas yang paling dekat dengan gerbang, wajar saat jam pulang sekolah tiba jalur ini akan terlihat seperti tempat demo korupsi para rakyat. Tapi bukan itu masalahnya. Shaka yang menghilang berhari-hari kini muncul didepannya de ngan senyum yang terasa lebih berwarna kali ini. Apakah suasana hatinya sedang baik atau semuanya sudah kembali ketempatnya semula?

"Bang Mahen?" panggilnya lagi.

Bang Mahen. Ulangnya dalam hati. Tiba-tiba percakapan seriusnya dengan sang Mama tadi malam kembali membawa Mahen berkelana kemalam itu. malam penuh dusta, penyesalan dan kesakitan. Tidak ada malam lain yang lebih menyakitkan dari semalam.

Menjadi anak dari perempuan bernama Miranda, yang sudah dicap orang lain sebagai seorang antagonis dihidup mereka benar-benar bukan hal yang mudah untuk Mahen cerna. Meski bukan dosanya, namun rasa bersalahnya justru membayang-bayangi Mahen. Cowok itu tersenyum samar setelah Shaka kembali memanggil namanya lagi, Mahen ingin sekali menangis bila ingat perbuatan Miranda.

"Baik. Lo apa kabar? Kok makin kurus sih? Ke mana aja kemarin?" tanya Mahen beruntun. Tidak ada satu detail dari seorang Shaka yang tidak mampu membuatnya cemas.

Malam itu di mercusuar, tentang keinginannya berjumpa dengan tiang bersemen tua itu mampu membuat Mahen mematung dan mendingin untuk sesaat. Mahen bahkan tidak bisa tidur hanya untuk menemukan, apa maksud dari perkataan anak itu? apa ia ingin menghilang disana? Sekali lagi, Mahen yang dihantui rasa takut dan bersalah.

"Bang Mahen yang makin kurus," jawab Shaka.

Ternyata anak itu masih naif, pikir Mahen. Siapa orang yang mau menyapa anak perusak rumah tangga orang tuanya selain Shaka? Bila itu Mahen, anak itu sudah tidak akan betah menginjak dunia.

"Rayyan masuk Rumah Sakit kemarin. Tapi sekarang udah gak apa-apa kok," lanjut Shaka, kemudian keduanya berjalan beriringan naik kelantai atas.

Shaka melirik kelasnya tepat setelah mereka sampai dilantai dua kemudian mengalihkan atensinya pada Mahen sembari tersenyum tulus. Mahen tidak salah lagi, mata Shaka kali ini lebih berbinar dari pada terakhir kali mereka bertemu. Membuat Mahen kembali berpikir, apa semuanya sudah baik-baik saja? Apa semuanya sudah selesai? Kendati demikian, ia tetap merasa ada yang ganjal dihatinya.

"Mau ke mercusuar lagi gak?" tanya Shaka. Mahen kelihatan berpikir dengan meletakan jari telunjuknya didagu, kemudian menangguk pasti.

"Tapi ada apa? Biasanya kalau lo ngajak gue keluar gini pasti ada apa-apa."

Shaka menepuk pundak Mahen pelan sembari tertawa, sambil melangkahkan kakinya menjauh dengan posisi masih menghadap Mahen, ucapan Shaka mampu membuat Mahen membeku seketika atau bisa dibilang menyadarkannya akan sesuatu. "Kali ini buat istirahat. Bang Mahen perlu istirahat. Gue ada hadiah buat Bang Mahen nanti malem. Kayak biasa ya!"

Berusaha tidak mengindahkan lambaian tangan Shaka, Mahen segera memecah kebekuannya untuk segera beranjak dari tmpatnya berdiri.

Mungkin benar kata Shaka bila ia perlu bersantai sedikit setelah melewati hari-hari panjang untuk terlepas dari loilitan tali yang Miranda kusutkan sendiri. Seperti Shaka yang agak terlihat lebih leluasa, sepertinya ia juga sudah bisa sedikit lenggang untuk sebentar.

***






Shaka melirik adik bungsunya yang tengah tertidur pulas sehabis menjalani kemoterapi pertamanya. Mama bilang Rayyan nyaris menewaskan pasien jantung karena teriakannya. Meski hanya bercanda, namun yang Shaka tangkap justru cubitan-cubitan nyeri yang menyerang hatinya. Apa sesakit itu? padahal Shaka sudah berpesan kepada Mama untuk menunggu dirinya bila Rayyan akan kemo. Tapi bila dipikir-pikir lagi hal itu sudah tidak penting, ada dan tidak ada dirinya disamping Rayyan tidak akan bisa mengurangi sakit yang Rayyan terima.

Shaka's Ending ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang