Rayyan kecewa.
Tepat setelah matanya kembali menangkap terang dan satu persatu objek dapat ia tangkap oleh radarnya. Ada satu tempat kosong tak terisi yang membuatnya menelan pil pahit karena berharap orang itu ada saat pertama kali kesadaran membawanya kembali. Rayyan tau, ia tau selama ini ia sudah egois dan terlalu gengsi dalam menunjukan perasaannya. Dan ia akhirnya tau bahwa sikapnya selama ini membawa luka untuk Abang satu-satunya, Arshaka. Yang membuatnya jatuh lebih dalam adalah fakta bahwa selama ini yang ia beri bukan hanya luka tak kasat mata, rupanya ia juga membuat tubuh Shaka remuk. Mungkin memang bukan dari tangannya, namun rasa sakit atas penyesalannya mungkin jauh lebih parah dari Ayahnya.
Rayyan tidak sadar, awal kemarahannya pada dunia adalah awal kesengsaraan Shaka. Dulu ia hanya berfikir, bahwa ia benci dunia ini, ia benci Mama dan Papanya yang selalu bertengkar, ia benci Papanya yang selingkuh, ia benci menjadi penyakitan, dan ia benci Shaka menyembunyikan segalanya, membuatnya merasa tidak berguna sama sekali, membuatnya seperti bayi kecil yang kemanapun ia pergi bersama Shaka, Shaka harus menyediakan botol susu agar bila sewaktu-waktu bayinya menangis, susu adalah jawabannya.
Hingga akhirnya ia sadar, bahwa mati yang ia maksud benar-benar menunjukan bahwa memang, mungkin saja ia bisa mati konyol ditangan Papa. Bahwa sakit yang ia utarakan, memang benar sakit yang ia tegar sepanjang waktu. Bahwa cinta yang ia beri, merupakan tulus yang paling berharga selama ia hidup didunia. Rayyan lupa, bahwa yang terluka bukanlah ia sendiri. Bukan hanya hatinya yang terpukul palu, Shaka juga disaat yang sama tertusuk sembilu yang sama-sama tak kasat mata.
Sampai ia sadar bahwa Shaka selama ini menahannya.
Begitu saja, hari berlalu dengan cepat setelah hari dimana ia kembali menghirup segarnya udara bumi. Ia pulang dengan kursi roda yang membantunya berpindah tempat. Dan lagi-lagi, meski bukan Shaka yang pertama kali ia lihat setelah bangun, Shaka adalah orang pertama yang paling memperhatikannya. Mulai dari memindahkan tubuhnya kekursi roda, ke dalam mobil, hingga yang mendorong kursi rodanya ke dalam rumah. Semua-muanya Shaka.
Saat itu, liburan kenaikan kelas akan habis dalam seminggu. Dan Rayyan sudah bisa berjalan meski masih perlu dengan hati-hati tanpa harus menggunakan kursi roda lagi. Mereka bertiga; Rayyan, Shaka dan Papa duduk berjejer menonton Reality Show diruang TV sore-sore. Melihat bagaimana para komedian yang memandu acara menggunakan pakaian yang aneh dan banyolan yang bagi Rayyan terlalu receh. Lalu Mama kembali dari dapur membawa seteko sirup jeruk beserta gelas-gelas diatas meja.
Shaka tiba-tiba menegakkan punggungnya membuat Rayyan melirik kekanannya dan melihat Shaka hanya melemparinya senyum manis, kemudian mengacak rambut hitamnnya.
"Ma, Pa," panggilnya sore itu. Suaranya yang santun dan lembut seperti membaur dengan angin yang menghembus masuk lewat jendela. Sedangkan yang dipanggil langsung mengalihkan atensinya dari fokus awal.
"Boleh gak, Shaka pindah sekolah ke London?" tanyanya dengan senyum canggung. Sedangkan Harun langsung mengernyit bingung dan Nadin ikut-ikutan menegakkan punggung karena terkejut.
Sedangkan Rayyan langsung melotot seolah kedua bola matanya akan segera menggelinding keluar. "GAK BOLEH!"
Shaka langsung menoleh ke Rayyan dengan senyum Jenaka, namun yang diusili malah menambung air mata dipelupuk. Iya, Rayyan jadi cengeng akhir-akhir ini bila menyangkut Shaka.
"Kenapa pindah?! Lo masih marah sama gue?! Ha??!" Shaka melotot kaget, lalu bergiliran menatap Mama Papanya yang seolah-olah tidak mau tau dengan rengekan Rayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaka's Ending ✔
Fiksi RemajaShaka tidak pernah meletakkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Shaka bahkan tidak memiliki rapalan do'a yang ingin di sampaikan pada Tuhan untuk dirinya sendiri. Mungkin itu sebabnya Arshaka kehilangan jati dirinya sebagai seorang anak...