12

1.2K 148 14
                                    

Aku mendongakkan kepala ku saat bang Jeffry mengguncang tubuhku untuk ikut bergabung sholat subuh kami. Ku lihat abang ku sudah rapih dan mungkin ia sudah mandi duluan.

"Cepetan bangun," ucap nya.

Alih alih aku melihat jam dan menunjukkan pukul 5.05 pagi, jadi aku mengangguk pelan lalu ia mengusap rambutku.

"Tunggu mau siap-siap,"

"Abang tunggu di bawah sama bunda ya dek," aku mengangguk dan menghilang masuk kedalam kamar mandi.

Aku bercermin saat itu dan mulai membuka senyum ku terlebih dahulu sambil menguncir rambut hitam ku yang agak panjang.

Membasuh muka dan menggosok gigi berakhir dengan aku yang kembali bercermin. "Dek cepetan atuh!" Teriak abangku dari bawah membuat aku buru-buru.

"Sabar, ini mau selesai abang ku sayang,"

Memang harus aku yang terburu-buru sekarang. Sepertinya alarm ku mati karena tidak biasanya ia senyap seperti ini.

Kaki ku menuruni satu persatu anak tangga dan tangan ku sibuk mengangkat mukena ku agak aku tidak terserempet dengan rok mukena milik ku.

Kami mulai melakukan kewajiban 5 waktu itu dengan tenang dan berakhir dengan berdoa. Lagi-lagi aku merasa galau seperti ini jika mengingat yang lalu-lalu.

Bang Jeffry membalikan tubuhnya dan menyalami bunda bergantian dengan aku. "Nanti Kiyla mau temenin Haechan ya bun ke acara turnamen dia," ujar ku.

"Jam?" Tanya abang ku.

"Jam tujuh bang,"

"Yaudah kamu hati-hati, jangan lupa nanti sholat nya pas Zuhur ya anak bunda," aku anak kesayangan di keluarga ini.

Memang benar-benar selalu aku yang di prioritaskan untuk hal-hal seperti ini. "Oh iya, kamu harus kuliah ya biar nanti semua pembiayaan abang yang bayar,"

"Kan abang kerja juga buat nafkah in kalian, karena sekarang cuma abang yang punya tanggung jawab bimbing keluarga ini," lanjut abang ku sambil mengelus punggung tangan bunda dan aku.

Dia memang sosok pria yang sangat perduli dengan keluarga, mungkin kak Mina sangat beruntung mendapatkan pria sebaik abang ku ini. "Iya abang,"

"Tapi inget ya, bunda gak mau kamu tuh kerja terlalu berat, karena semua tanggungan ada di kamu. Bunda gak mau kamu sakit ya," pesan bunda ku.

Abang ku mengangguk sambil tersenyum sumringah dan mencium dahi bunda dan juga aku secara bergantian, rasanya benar-benar bahagia aku terlahir di keluarga ini.

"Kiyla, Mark jadinya pergi?" Tanya bunda ku.

Mata ku melebar saat bunda bertanya perihal itu lalu aku menatap wajah abang ku dan kemudian mengangguk kaku, "i—iya bun, Mark pergi karena dia mau fokus kuliah," ku tundukan kepala ku.

Bunda mengelus rambut ku, "kamu jangan sedih, pasti kalau kalian berjodoh kalian akan bersama nanti,"

Ya, tapi mungkin perkataan bunda tak benar. Sampai kapanpun katedral dan istiqlal memang tak bisa menyatukan benteng nya, karena kedua nya sama sama memiliki kesucian yang berbeda.

"Itu mungkin jauh dari pemikiran aku bun. Dan aku gak mungkin bisa bersatu sama dia,"

"Mark cinta Tuhan nya, dan Kiyla cinta sama Tuhan Kiyla juga. Gak ada yang mau berkhianat bun untuk mengubah keyakinan yang kita punya,"

Walaupun aku spesies yang agak ambisius, tapi tetap saja aku tak mau melakukan hal itu untuk apapun itu.

Bang Jeffry memeluk ku dan mengusap kepala ku lembut, dan aku menyenderkan kepala ku di dada bidang nya sambil menahan bendungan air mata ini, "jangan nangis ya dek, abang gak mau kamu terlihat lemah karena orang lain,"

Istiqlɑl - Kɑtᧉdrɑl √Mɑrk LᧉᧉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang