Prolog

2.6K 234 43
                                    

"Kirana jamah aku, jamahlah rinduku."

[See the end of the chapter for translation]

Bantul, Yogyakarta

2009

Jeongguk

Sudah tidak bakal ada lagi yang bisa memakaikan belangkon ke atas kepalanya, sekarang. Di hadapan cermin, bayangan Jeongguk kelihatan nyata. Hidup seperti manusia lainnya. Tidak susah mengelabuhi indra pengelihatan manusia. Termasuk ia yang dulunya juga berwujud serupa seperti mereka. Pembeda di antara Jeongguk dan orang lain adalah bara api kehitaman di balik badan. Membuatnya jadi seperti semi-terbakar dan mungkin bakal nampak aneh kalau ia adalah makhluk halus tingkat dasar yang kesusahan menyembunyikan wujud.

Setiap tetes kental kemerahan jatuh dari balik tangannya yang berdosa. Seolah jadi pengingat kalau ia ada di dunia untuk memburu sosok yang selama ini jadi cikal bakal kehancuran Mataram. Tempat nyaman yang semula cuma sebuah kota dengan kehidupan tentram. Lahan pangan terpenuhi, orang-orang jarang mengeluh kelaparan, dan teman sepermainannya yang menimba ilmu di siang hari. Semua terasa sempurna dan tidak bercela.

Sampai Jeongguk mengecap sesuatu yang tidak beres.

"Het kalf[1]."

Jeongguk menahan diri untuk tidak mengerlingkan mata ketika sosok melayang dengan rambut gondrong baru saja masuk lewat dinding di bilik kamar mandi. Sosoknya tegap dengan mantel tebal seperti orang kedinginan. Berwarna lusuh akibat terlalu lama tidak dicuci. Sejenak Jeongguk ingin mengumpat kalau tidak ingat ia sedang ada di toilet umum salah satu Sekolah Menengah Pertama.

"Berhenti jadi hantu gentayangan, Adriaan," sahut Jeongguk. Kedua tangannya menarik Samir yang dikalungkan di leher. Supaya lebih rapi dan enak dilihat olehnya sendiri.

"Waarom[2]?" Adriaan menapakkan kaki di atas lantai. Tubuhnya yang besar tidak menghalangi sinar ruangan dan ia tetap saja tidak punya bayangan. Sama seperti Jeongguk. "Kita berdua sama-sama setan dan punya dendam ke orang yang sama pula."

"Jangan samakan aku dengan orang-orang lapar uang seperti kamu." Jeongguk berkata pakai aksen Jawa kental. "Imhoff tidak membantai satu ras untuk kepentingan perutmu yang sudah buncit itu."

Adriaan terbahak-bahak sampai Jeongguk rasanya ingin menyumpal Pak Tua itu dengan wastafel kalau boleh ia lepas dari tempatnya. Mendengar orang itu tertawa adalah sebuah malapetaka karena Jeongguk jadi merasa bersalah. Seperti menghibur kubu lawan dan berkawan sampai lupa diri. Aneh.

"Te lawaaierig[3]. Suaramu tidak enak didengar."

"Aku yang setan dengan aku yang manusia, beda, Het kalf." Pelan-pelan, Adriaan berhenti cekikikan.

"Kelihatan sama saja."

"Terserah apa kata mas abdi dalem." Adriaan bakal menganggap Jeongguk seperti anak kecil. Tabiatnya tidak berubah semenjak Jeongguk berganti wujud. Meski tidak nyaman, Adriaan lah orang pertama yang membuka pembicaraan di antaranya dan membeberkan fakta kalau mereka membenci orang yang sama. "Kamu ada waktu malam nanti?"

"Tidak."

"Ikut aku ke Batavia."

"Jakarta," koreksi Jeongguk.

"Batavia."

"Sudah jadi setan, kok, masih saja ngotot."

"Namanya lebih bagus Batavia dan Hindia-Belanda." Adriaan tidak mau kalah.

"Ya, untuk kamu."

Jeongguk sadar betul kalau tidak bisa terus-terusan lari dan menghindar perbincangan dengan sosok ini. Semakin ia mencoba melepaskan diri, semakin Jeongguk dihempas mundur lagi. Dari semua makhluk yang pernah Jeongguk temui, tidak ada yang terang-terangan menyambutnya seperti teman lama. Memperlakukannya sama dan bahkan seperti saudara. Gelagat Adriaan mengantarkan Jeongguk ke fakta kalau terjadi pembantaian besar-besaran atas etnis Tionghoa di Gedung Merah. Membuatnya sadar kalau mungkin, Adriaan mencoba menebus dosanya sendiri semasa jadi manusia.

Tidak berguna. Tidak bakal ada yang menganggap sosok sepanas Banaspati dan Adriaan Valckenier mencoba menaungi manusia dari arah yang berbeda. Jasa mereka saat ini seperti sudah tidak ada gunanya.

SMPN 2 Bantul, Bantul, Yogyakarta

Jimin

"Kalau yang di sana, ada, tidak?" Suara perempuan di samping bangkunya membuat Jimin mendongak ke arah jari telunjuk yang sedang tertuju ke pojok ruangan. Dari mata orang awam bakal tidak ada yang berbeda. Cuma sebatas tumpukan loker dan beberapa gagang sapu dibiarkan setelah dipakai piket kelas.

Tapi Jimin mampu melihatnya. Meski tidak setiap hari, ia bisa menyambungkan garis siluet halus yang berbentu serupa manusia berjongkok. Awalnya Jimin bakal ketakutan dan memilih untuk bungkam. Menjawab berarti membawa petaka pada dirinya sendiri. Ia bakal diganggu, nanti, kalau sudah tidak ada orang. Di perjalanan pulang, makan siang, atau bahkan di waktu berharganya kumpul dengan orang tersayang.

Derik pintu kelas membuat Jimin kembali mengatupkan bibir tatkala ia bisa dengar suara derap langkah kaki Sang Guru memasuki ruangan. Sosoknya cantik dengan polesan wajah natural yang selalu kelihatan bahagia. Menyenangkan bisa melihat wajah secerah itu di hari mendung selepas hujan, pagi ini.

Napas Jimin tercekat waktu bayangan lain mengekor di balik tubuh Sang Guru. Ia pernah melihat seragam itu, sebelumnya. Berbaris rapi memenuhi halaman Kraton Yogya dan mengantar festival tahunan yang sering diadakan. Setelan biru bergaris hitam dan batik yang jadi jarit mengingatkan Jimin kalau sosok itu bukanlah manusia. Bising di kelas yang masih terdengar juga jadi penanda kalau cuma Jimin yang bisa lihat sosok yang hampir ditelan bara api kehitaman.

Di balik setelan seragam putih-biru hari rabu, Jimin mandi keringat.

...

[1] Het kelf: anak sapi (Bahasa Belanda)
[2] Waarom: kenapa (Bahasa Belanda)
[3] Te lawaaierig: berisik (Bahasa Belanda)

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang