10. Luka lama

2K 349 138
                                    

〰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14 Oktober 2014

"Pelangi pelangi alangkah indahmu.."

"Merah kuning hijau, di langit yang abu." Sambung Changbin dengan lirih.

Pemuda dengan surai hitam itu lepaskan tawa hampanya, sepasang tinta hitam legamnya di bawa untuk tatap sebuah keluarga di depannya.

Seorang ibu dan dua anak kembarnya. Bernyanyi bersama seraya mengukir senyuman paling bahagia.

"Mah, kalau nanti hujan belhenti bakalan ada pelangi ya?"

Jogjakarta di waktu senja, tak ada rona jingga seperti biasanya. Wajah angkasa Jogja kali ini kelabu, dengan presipitasi ribuan air kecil yang turun menghujam bumi. Serupa dengan Changbin yang dihujam luka di tubuh dan hati.

"Walna pelangi bagus ya Ma, hali ini bakalan ada pelangi gak ya?"

Pelangi, setumpuk rona warna warni. Indah tapi buat Changbin iri. Karena ia hanya manusia yang bisa kenali hitam dan putih, matanya terlalu rabun untuk lihat keindahan pelangi. Ia tak sempat menikmati, lukanya sudah terlalu sakit tak terobati.

"Kalau awannya ndak halangin sinar matahari, mungkin pelanginya akan muncul di langit nanti."

Hujan turun ditemani matahari, ciptakan busur spektrum menyerupai setengah lingkaran bernama pelangi.

Manusia hidup berdampingan, ciptakan rasa kasih sayang di setiap lingkar kehidupan. Mulai dari keluarga, teman, hingga kekasih hati.

Changbin tak miliki ketiganya, buat ia buta akan makna kasih sayang. Keluarga? Posisi dirinya hanya sebatas huruf di atas kertas resmi pemerintah. Teman? Changbin hanya anak yang sering buat onar, tak ada yang mau berteman dengannya. Kekasih hati? Ah Jogja memang suka bercanda, mana ada orang seperti dirinya bisa disukai bahkan dicintai seseorang disaat keluarganya pun buang dirinya tanpa rasa kasihan.

Changbin punya harapan namun semesta punya kenyataan. Changbin hanya manusia biasa dengan garis takdir yang sudah Tuhan berikan.

"Jangan maju terus nak, nanti kamu kena hujan."

"Jangan kembali ke rumah, kamu harusnya tahu diri anak sialan."

Changbin pejamkan matanya pelan saat suara perempuan itu kembali terdengar dalam bayangannya, hujam hatinya hanya dengan perkataan.

"Rapatin jaketnya, biar hangat."

"Harusnya kamu mati kedinginan aja di luar sana."

Sepasang manik hitam legam Changbin kini serupa dengan wajah angkasa, diselimuti kabut yang sudah mengabur dan siap jatuh kapan saja.

"Mama ndak mau kalian sakit, nanti ndak bisa pergi ke festival sama Papa."

"Sakit? Mau tambah lagi? Udah saya peringatin, jangan pernah ngelunjak sialan!"

Levant ¦ ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang