19. Epilog

1.4K 260 74
                                    

〰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jogjakarta, bandar udara Adi Sucipto di waktu senja. Felix tengah duduk di kursi waiting room yang pernah ia duduki sepuluh tahun lalu. Saat itu, ia menghampiri seseorang. Menyapa orang itu penuh riang lengkap dengan sepasang bola mata yang berbinar terang.

Waktu berlalu begitu cepat ya Jogja. Rasanya baru kemarin ia pergi belibur bersama, dan menginjak bandar udara kotamu yang istimewa. Dan kini, Felix kembali duduk di kursi yang sama. Menanti seseorang yang sudah tak terlihat lama.

Sepasang netra coklat terang milik Felix yang sedari tadi melihat orang berlalu-lalang dengan kopernya, kini beralih, pada sebuah cincin yang melingkar indah di jari manisnya.

Lantas Felix usap cincin itu secara perlahan. Masih sama, menciptakan rasa hangat di hati ketika ia menyentuhnya penuh kasih sayang. Sudah sembilan tahun cincin ini menjadi saksi hidupnya. Begitu banyak hal yang sudah ia lalui, suka pun jua duka.

"Ayah!"

Bersamaan dengan seruan lantang seorang anak kecil yang sedari tadi berada di sisi kanan tubuhnya. Felix angkat kepalanya dengan cekat, tatap sosok yang sangat di rindukannya dengan lekat.

Lelakinya, tengah berjalan dengan langkah lebar seraya menggiring satu koper berona coklat tua. Satu bulan tak bertemu, buat Felix tersiksa akan hadirnya rindu.

"Papa, itu Ayah!"

Felix mengangguk senang seraya mengulas senyuman paling sempurna yang ia punya. Biarkan sang putra memeluk tubuh sang ayah yang sudah di rindukannya. Felix lantas berdiri, mendekat pada dua laki-laki kesayangannya yang kini saling melepas rindu dengan pelukan erat.

"Ayah, Leo angen.."

"Ayah juga kangen Leo, kangen Papa juga."

Leovin Lixagara, bait nama itu Changbin dan Felix berikan untuk putra pertama mereka. Tepat tahun ini, Leo kini berusia tiga tahun. Usia dimana ia sedang senang-senangnya bercerita dan berceloteh tentang banyak hal.

Leovin, diadopsi Felix dan Changbin ketika masih bayi. Maka dari itu, Leo begitu menyayangi keduanya layaknya pada orang tua kandung.

"Papa gak mau peluk Ayah juga?" Ujar Changbin dengan sepasang tinta hitamnya tatap penuh rindu sosok suami manisnya. Lantas Felix mendengus geli dengan sepasang bola matanya yang kini mulai berkaca-kaca.

"Kangen, kangen banget Kak Abin.."

Selepas bait suara itu mengudara, Changbin tarik tubuh Felix untuk di peluknya dengan erat. Kecup dahi lelaki manisnya dengan penuh kelembutan, lalu usak rambut coklat tua itu dengan pelan.

Levant ¦ ChanglixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang