.
.
.
.
.
Makam ibu adalah satu-satunya tempat yang ada dalam pikiran untuk Win tuju. Dia tidak punya rumah. Tidak bisa kembali ke rumah Granny. Dia adalah nenek Luke. Luke mungkin ada di sana menunggunya. Atau mungkin tidak juga. Mungkin Win juga sudah mendorongnya pergi hingga dia enggan untuk menunggu lagi.
.
Win duduk di ujung makam ibu. Menarik lutut di bawah dagu dan melingkarkan tangan di kakinya. Dia pulang kembali ke kota Sumit karena ini satu-satunya tempat yang dia tahu akan dia datangi. Sekarang, Win harus pergi. Dia tidak bisa tinggal di sini. Sekali lagi hidupnya akan segera menikung tajam. Keadaan yang tidak siap untuk dia hadapi.
.
Ketika Win masih kecil ibu pernah membawa dia dan Tine ke sekolah Minggu di gereja Baptis setempat. Win teringat sebuah ayat suci yang orang-orang bacakan untuk mereka dari Alkitab tentang Tuhan tidak memberikan beban lebih banyak daripada beban yang mampu kita hadapi. Win mulai bertanya-tanya apakah itu hanya untuk orang-orang yang pergi ke gereja setiap hari Minggu dan berdoa sebelum mereka pergi tidur di malam hari. Karena Tuhan tidak tanggung-tanggung memberikan pukulannya terhadap Win.
.
Mengasihani diri sendiri tidak akan menolongnya. Win tidak bisa melakukannya. Dia juga harus mencari tahu jawabnya tentang yang satu ini. Menumpang di rumah Granny dan membiarkan Luke membantunya mengatasi urusan hidup sehari-hari hanyalah untuk sementara. Win tahu saat dia pindah ke kamar tidur tamu bahwa dia tidak bisa menumpang terlalu lama. Terlalu banyak sejarah antara Luke dan dia. Win tidak punya niat untuk mengulangi sejarah itu. Jawaban tentang kapan Win akan pergi berada di sini tapi dia masih tetap tidak mengerti kemana dia akan pergi dan apa yang akan dia lakukan sama seperti tiga minggu yang lalu.
.
"Aku berharap kau ada di sini, Mae. Aku tak tahu harus berbuat apa dan aku tidak punya siapa pun untuk kutanyai," bisik Win sambil duduk di pemakaman yang tenang. Dia ingin percaya bahwa ibu bisa mendengarkannya. Win tidak senang memikirkan dia berada di bawah tanah tapi setelah saudara kembarnya, Tine, meninggalkannya duduk di sini, di tempat ini bersama ibu dan mereka bicara dengan Tine. Ibuya pernah berakata arwahnya sedang mengawasi mereka dan dia bisa mendengarnya. Win sangat ingin percaya itu sekarang. Tapi─
.
"Ini aku. Aku rindu kalian. Aku tidak ingin sendirian...tapi begitulah. Dan aku takut." Suara yang terdengar hanyalah desiran angin menerpa daun-daun di pepohonan. "Kau pernah memberitahuku kalau aku mendengarkan dengan cermat aku akan tahu jawabannya di dalam hatiku. Aku mendengarkannya Mae, tapi aku sangat bingung. Mungkin kau bisa membantuku dengan menunjukkan padaku ke arah yang benar, entah bagaimana?" Win menyandarkan dagu di lutut dan memejamkan mata, tidak mau menangis.
.
"Ingat saat kau bilang aku harus mengatakan kepada Luke bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Bahwa aku tidak akan merasa lebih baik sampai aku menumpahkan semuanya keluar. Well, Aku melakukannya hari ini. Bahkan jika dia memaafkanku keadaan tidak akan pernah akan sama lagi. Bagaimanapun aku tidak bisa terusterusan bergantung padanya dalam banyak hal. Sudah waktunya aku mencari tahu sendiri. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya." Hanya bertanya padanya membuat Win merasa lebih baik. Tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban sepertinya tidak menjadi masalah.
.
Suara pintu mobil ditutup memecah kedamaian dan Win menurunkan tangan dari kakinya, menoleh kebelakang di pelataran parkir dan melihat mobil yang terlalu mahal untuk kota kecil ini. Memutar mata untuk melihat siapa yang telah melangkah keluar dari dalam mobil Win terkesiap kemudian melompat. Itu Gigie. Dia ada di sini. Di Sumit, di kuburan ini...mengendarai mobil yang terlihat sangat, sangat mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOWN [ BrightWin ] ✅
Fiksi PenggemarBright ingin merengkuh Metawin dengan segenap cintanya, Ingin menghapus semua sakit dan pilu kisahnya. Namun nyatanya Kisah mereka terlampau carut marut, terlampau hancur berantakan, dan tak lagi dapat terburai layaknya benang kusut. Lalu, Sekali la...