2. Dilema Rasa

846 31 0
                                    

Ada yang tak bisa ditebak sekalipun oleh teori yang dikemukakan banyak orang. Tahu apa? Itu rasa.

🎸🎸🎸

"Gue enggak jadi ke rumah Reval."

"Kenapa? Kita udah stand by, Ra."

"Gue lagi kangen sama bunda."

"Lo ke pemakaman jam segini? Ra, lo baik-baik aja?"

"Gue bahkan ngerasa lebih baik di sini daripada di rumah. Gue tutup ya. Jangan khawatir. Gue sama supir kok. Dia nunggu gue di mobil."

Tut.

Zebira mengakhiri panggilannya bersama Neira lalu memasukkan ponselnya ke saku celananya. Zebira tersenyum sembari menatap makam sang bunda sebelum akhirnya berjongkok di depannya.

"Assalamualaikum, bunda." Suaranya terdengar gemetar.

"Maaf aku udah lama enggak ke sini. Akhir-akhir ini aku lagi latihan buat tampil di acara Pekan Seni. Doain aku ya, bun."

Zebira senang ketika dirinya bisa berbagai cerita dengan sang bunda meski bundanya hanya menyisakan sebuah gundukan tanah juga nisan bertuliskan nama sang bunda. Setidaknya di sini Zebira merasa nyaman, dan merasa ada seseorang yang bisa dia ajak untuk bertukar cerita.

"Ayah mau nikah lagi, bun. Aku enggak suka. Aku enggak mau ayah nikah lagi, bun. Aku harus apa? Aku enggak mau benci ayah, tapi ayah yang buat aku benci."

Zebira memang tak tahu siapa tante Bianca. Dia hanya tahu jika perempuan itu merupakan sosok yang akan menjadi ibu sambungnya. Zebira bahkan tak pernah mau mencari tahu bagaimana rupa tante Bianca padahal sudah dua Minggu berlalu berita sang ayah akan menikahi tante Bianca itu ia ketahui.

"Bunda jangan sedih ya. Bunda itu wanita terbaiknya ayah," ucap Zebira sembari mengusap nisan sang bunda.

"Ayo kita pulang!" Terdengar suara ajakan di belakang Zebira.

"Kenan," ucap Zebira sesaat setelah gadis itu ke oleh ke belakang tubuhnya.

"Ayo pulang. Cuacanya dingin nanti lo sakit." Kenan kembali berujar. Kalimatnya memang terkesan mengandung perhatian, tetapi yakinlah nada yang Kenan gunakan tak menunjukan demikian.

Zebira menatap Kenan curiga. "Pasti disuruh ayah, kan?"

"Om Zemi khawatir, Ra. Jangan kayak anak kecil," jawab Kenan yang memang tak bisa mengelak.

"Anak kecil?" ulang Zebira, "lo aja yang enggak tahu rasanya jadi gue, Nan. Lo enak punya tante Diana sama om Agasa. Belum kakek nenek lo. Sedangkan gue?"

"Ada gue."

Alih-alih tersipu atau merasa senang justru tawa mirislah yang menjadi respon Zebira atas jawaban spontan Kenan itu. "Lo bahkan enggak pernah anggap gue, Nan. Lo pulang aja. Gue juga mau pulang kok. Bilang sama ayah kalau gue bisa pulang karena gue udah gede."

Kenan mengangguk. "Oke. Gue duluan," ucapnya sebelum akhirnya pria itu benar-benar beranjak meninggalkan Zebira sendiri.

Ada gue. Kalimat itu adalah kalimat paling dusta yang pernah Kenan ucapkan padanya.

"Lo emang pandai berdusta, Nan."

***

Kenan menghela napasnya sembari melepas jaket yang ia kenakan. Pria lima belas tahun itu nampak lelah. Banyak sekali pikiran yang sedang menganggunya saat ini.

"Kamu suka sama Zebira, 'kan?"

Suara yang muncul bersamaan dengan munculnya sosok Adimas, kakek dari sang mama, membuat Kenan terkejut. 

Monachopsis [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang