Tumbang

885 25 1
                                    

Sudah hampir satu bulan,  Kirana berkumpul di lapangan ini setelah pulang sekolah.  Gadis itu terus mengikuti latihan dengan baik, orang-orang selalu memujinya,  tapi Kirana tak pernah menggubrisnya.

Baginya,  mungkin saat ini,  takdirnya benar-benar memintanya untuk mewujudkan keinginannya. 

Maka dari itu,  dia berusaha melakukan yang terbaik.  Lagipula,  seru juga bisa bertemu dengan bola basket dan ring yang selalu ia rindukan baunya.

"Nah,  bagus.  Kirana tetap pertahanun kemampuan kamu dan tugas kamu ya.  Kamu sudah cukup baik selama berlatih,  lusa  kita akan lomba,  dan permainanmu selesai."ucap pak Zamal.

"Renata,  jaga emosi kamu ketika main.  Bisa bahaya kalau emosi kamu terpancing di pertandingan nanti."

"Dan Teresha, inget temenya,  jangan egois."

"Baik pak," jawab Teresha,  memang Teresha selalu bermain egois,  gadis itu sering egois memainkan bolanya sendiri tanpa mengoper pada yang lainya ketika gadis itu kesal.

"Ya sudah,  sekarang kalian bisa istirahat."

Prittt..

Suara peluit yang mendengungkan telinga itu bersuara merdu. 

"Pemain putra berkumpul,  kita latihan sekarang." intruksi pak Zamal. 

Semua anggota putra pun berkumpul lalu membubarkan diri ke bagiannya masing-masing di lapangan.

Kirana mengusap keringat yang ada di dahinya,  gadis itu sedang istirahat sekarang.

Duduk di paling ujung lapangan sendirian,  memperhatikan tim basket putra yang sedang berlatih. 

Gadis itu bahkan tidak bergabung dengan para pemain putri yang nampak asik bercanda gurau.

Kirana lebih memilih mencari ketenangan, matanya perlahan meredup,  gadis itu mengumpat dalam hati.  Inilah kenapa ia selalu menghindar,  ia sudah lelah memaksakan dirinya sendiri. 

Sebelum matanya benar-benar tertutup sempurna,  gadis itu mendengar sebuah teriakan dari semua orang.

"Lucy!"

"Kirana!"

Setelah itu,  semuanya menggelap.  Mungkin tidur sebentar saja,  bisa memulihkan keadaan tubuhnya yang sedang berontak saat ini. 

---

Kirana mengerjapkan matanya,  bau obat-obatan meruak kedalam hidungnya. 

Ah sial,  kenapa takdir mempermainkanya seperti ini. Padahal dia sudah berlatih keras,  padahal ia mengira ini adalah kesempatan untuk ia meraih keinginanya.  Tapi,  kenapa ia saat ini tumbang lagi? 

Gadis itu mendengkus sebal,  ketika kepalanya berdenyut pusing.  Dan lagi-lagi ia mengumpat kasar.

Selang infus terpasang sempurna di lengannya. Membuat gadis itu menggerutu pelan. 

Apa dia bilang,  seharusnya ia menuruti kata hatinya,  untuk tidak berjuang terlalu keras,  karena ujung-ujungnya seperti ini.

Tubuhnya selalu meringkuk ketakutan jika ia sudah hampir sampai puncaknya.

" Sial,  bangke,  lemah!"gerutu Kirana kesal. 

Memarahi dirinya sendiri yang sudah melewati batas,  padahal ia sudah berjanti tidak akan melawan dirinya sendiri lagi.

Jika sudah seperti ini,  gadis itu tidak bisa mengelak kenyataan yang menghantamnya keras.

Sebenarnya,  ia lelah juga terus-terusan berdebat dengan dirinya sendiri,  memarahi dirinya sendiri dan menyalahkan dirinya sendiri.

Bukannya lega karena sudah memaki dirinya sendiri,  gadis itu malah semakin kesal dan marah.

Ceklek...

Pintu terbuka pelan, ternyata Marissa yang membuka pintu. 

Wanita paruh baya itu tersenyum lebar, 

"Kamu sudah siuman, kak. Gimana ada yang sakit nggak?  Atau kamu butuh sesuatu." tanya Marisa

Kirana tersenyum tipis,  " Sstt,  aku nggak papa bun."

Marisa mengerjapkan matanya,  menahan air matanya yang hendak mengalir. " Iya,  bunda tau.  Kamu kuat kan."

Kirana menganggukan kepalanya,

"Hp aku mana, bun." tanya Kirana mengalihkan pembicaraan. 

"Bentar, bunda ambilin dulu di tas bunda." jawab Marisa.

Tak lama kemudian,  benda pipih itu sudah ada di tangan Kirana. 

Gadis itu tersenyum tipis,  melihat beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Vino.

Pasti cowok itu khawatir,  karena Kirana tak pernah mengabaikan pesan dari Vino.

Terlalu berlebihan,  tapi itulah Vino.  Selalu menyayanginya,  melalu merangkulnya,  selalu mengulurkan tangannya untuk Kirana,  meski mereka kini sudah terpisah jarak begitu jauh.  Tapi,  Vino tak pernah berubah,  cowok itu malah semakin berperilaku manis pada Kirana,  selalu setiap menjadi buku harian hidup untuk Kirana.

Terkadang,  Kirana terheran-heran.  Kenapa Vino sesabar itu,  kenapa Vino selalu bersikap manis padanya meski selalu diperlakukan semena-mena oleh Kirana.  Tapi Kirana akui, baru kali ini ada seseorang yang bersandang pacar bisa merangkap sebagai teman,  sahabat,    kakak,  dan juga ayah sekaligus.

Padahal,  seharusnya Vino selingkuh saja.  Agar Kirana tak perlu memanfaatkan kebaikan Vino padanya selama ini.


-TBC-

Come Here (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang