19. Bertemu Nenek

7 1 0
                                    

Happy Reading:')

***

"Ya, lo kok diem bae. Ada masalah?" tanya Gio sambil memutar tubuhnya 90°. Aya menghela napas, "Enggak. Aya cuma lagi mikirin sesuatu."

"Mikirin apa?"

"Adalah. Gio gak usah kepo deh. Udah sana, liat depan lagi." paksa Aya membuat Gio memutar matanya kesal.

Ketukan pulpen pada meja, membuat Aya menelungkupkan kepalanya. "Tuh bocah kenapa? Berantem sama lo lagi." tanya Vera sambil menunjuk Aya dengan dagunya. Gio mengedikkan bahu dan menghadap ke depan lagi.

"Dih, sok cool banget sih lo." ejek Vera sambil memukul Gio dengan buku sejarah yang tebalnya mencapai 4cm. Gio menatap Vera penuh kesal. Membuat perkelahian yang memuakkan.

"Kenapa perasaan itu gak bisa ilang sih? Perasaan tentang Alta itu Langit. Tapi mana mungkin sih. Aya pasti kebanyakan halu makanya sampai gak bisa mikir." batin Aya.

"Gio setuju nggak kalau Langit itu sebenernya Alta?" tanya Aya membuat Gio terkejut.

"YA ENGGAKLAH." tukas Gio tanpa berpikir panjang. "Mana mungkin Alta itu Langit. Lagian Alta kan udah tenang di sana. Jangan diungkit-ungkit lagi." saran Gio.

Aya menghela napas. Hanya dirinya yang tidak mau menerima fakta itu. Dia merasa Alta itu masih hidup.

3 tahun lalu.

"Tante, Alta mana? Aya pengen ngomong sama Alta nih." suara ceria Aya membuat si penelpon alias Ibu dari Alta terdiam membisu.

"Aya, Alta udah nggak ada." gumam Ibu Alta. Aya mengerutkan alisnya. "Kemana? Alta lagi pergi ya Tante?"

Abraham yang berjalan melewati Aya menatap aneh raut wajah putrinya itu. "Loh, kok putri Ayah muram sih? Kenapa? Alta mana?" tanya Abraham yang dijawab dengan gelengan kecil.

"Halo Marisa?"

"Halo Abraham. Alta sudah gak ada. Alta kecelakaan saat perjalanan pulanggg hikss... Jangan bilang sama Aya. Kasian Aya kalau nanti dia tau yang sebenarnya. Aku mohon...."

"Innalillahi wa innaillaihi roji'un. Kamu yang sabar ya Marisa. Aku ikut berduka cita atas kabar ini." cicit Abraham, pandangannya beralih kepada Aya yang memainkan boneka pinguin pemberian Alta.

"Alta, Aya kangen. Kenapa kamu harus pergi sih? Aya tuh pengen ngomong sama Alta." ucap sedih Aya. Setitik air mata keluar dari sudut mata Abraham. Dia tak tau kalau anak laki-laki yang terkenal dengan sikap cueknya itu sudah pergi. Pergi jauh sejauhnya.

"Aya kangen Alta. Apakah Alta juga rindu Aya?" ucap Aya lirih. Membuat Gio merangkulnya. "Lo harus ikhlas Aya. Lo kuat kok. Gue yakin."

***

"Ngit, lo langsung balik? Anterin gue dulu napa. Gak kasihan sama sohib terganteng lo ini?" cakap Arkan dengan nada sedih. Ralat, sok sedih.

Langit memutar bola matanya jengah. "Angkutan umum banyak. Gak usah manja. Ngakunya anak laki-laki tapi manja kayak anak perempuan."

"DIHHH SADIS BENER MASNYA. Habis makan cabe segerobak lo Ngit? Bilang aja lo males nganterin gue. Ya, kan?"

"Itu tau." sahut Langit sambil memakai helm full facenya. Arkan memasang wajah kesal supaya Langit mau berbaik hati. Tapi mustahil, sekalinya batu ya batu. Tanpa ucapan, Langit melajukan motornya menjauhi sekolah.

Dear Langit (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang