22. Kecewa

10 2 0
                                    

Happy Reading:')

***

"Ya, tu Langit kenapa sih? Sok deket banget sama gue. Kayak ada yang aneh gitu. Tapi gue gak tau apa." bisik Gio sambil menutupi wajahnya dengan buku.

Aya berdecak pelan, sempet-sempetnya Gio berbisik di saat pelajaran Bu Shinta. "Gio diem deh. Nanti ketahuan."

Gio mendengus kesal lalu pura-pura menulis materi. Sedangkan Aya sendiri masih bingung tapi Langit pasti sudah jujur padanya.

"Oke. Kalian selesaiin rangkuman ini. Saya tinggal dulu ada rapat guru. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Bu."

"YEYYYYYYY JAMKOSSS. BISA BUAT TIKTOK TARAKTAKDUNG DONGG." jerit Jeno dengan wajah sumringah.

Aya menghadap ke arah Gio. "Gio kok jadi pendiem sih. Kenapa? Marah sama Aya ya?" tanya Aya sambil menatap wajah cemberut Gio.

"Enggak. Gue tiba-tiba kepikiran sama Alta. Seolah Langit itu Alta." ucap Gio sambil melamun. "Aya juga ngerasa gitu tapi mana mungkin. Kan Gio sendiri yang bilang kalau itu semua gak mungkin."

"Iya sih. Tau ah. Mending gue ngapelin Sena daripada mikirin yang gak pasti." sewot Gio sambil nyelonong pergi.

"Kan selalu gini. Ditinggalin mulu. Mana Vera gak ada lagi. Aha, Aya punya ide." cetus Aya sambil berjalan ke arah kantin.

Sedangkan Arkan yang ada di kelas sibuk menyontek jawaban Langit. "Ngit, tulisan lo gedein kek. Mata gue sampe nyipit-nyipit gini supaya bisa baca tulisan lo."

"Suka-suka gue lah. Lo tinggal nyontek aja komplen. Kalau nggak mau ya udah, sini." balas Langit sambil menarik bukunya. Arkan langsung menjauhkan buku itu dan kembali melanjutkan nyonteknya.

Ting!

Ayasha
Langit, ke kantin dong. Aya sendiri nih :(
Mana sepi lagi kantinnya. Plisss.

LangitD
Iya.

"Wihhh, dari Aya. Gercep amat balesnya gantian gue aja dibales satu jam kemudian." sindir Arkan sambil melirik Langit dendam. Sayangnya yang dilirik sok-sok an datar. Kayak papan sketchboard.

"NGITTT GUE TITIP CILOK LIMA REBUUU. AWAS KALAU LUPA, BUKU LO GUE UMPETIN." teriak Arkan yang tak mendapat balasan. "Dih kutu kupret. Tuh orang denger atau enggak juga gak bakalan bales omongan gue."

***

Aya sibuk melahap cilok dengan sambal 2 sendok ditemani es teh. Sampai sosok laki-laki duduk didepannya. "Langit pesen gih. Aya traktir."

"Gak. Kenapa sendirian? Gio?"

"Biasalah. Ngapelin pacarnya. Dan berujung Aya ditinggalin." desis Aya dengan nada kesal. Tanpa sadar, ada bumbu kacang yang menempel pada sudut bibirnya.

"Gio tuh emang dateng ke Aya pas lagi susah doang. Pas bahagia aja sama Sena. Mana adi—— Langit ngapa–-"

"Diem." ucap Langit dengan mengusap sudut bibir Aya menggunakan tisu. Aya langsung terhipnotis. Melting banget berada sedekat itu sama Langit. "Kenapa bengong?"

"Hemm... Enggakkk. Aya tuh lagi mengagumi pahatan sempurna tak ada bandingnya." puji Aya tanpa sadar. Langit mengangkat sebelah alisnya. "Pahatan sempurna?"

"Ehhh, enggak. Lupain aja." kelakar Aya dengan menyembunyikan rona merah di pipinya.

"Gimana kalau nanti lo main ke rumah? Shela katanya kangen." sahut Langit dengan memainkan game di chrome. "Serius? Demi apa?"

"Gak usah heboh. Nanti lo pulang bareng gue. Gue duluan, udah waktunya pelajaran Bu Fifi." ucap Langit dengan beranjak namun masih menyempatkan mengusap kepala Aya.
"Makan yang banyak."

"AAAAAAAAAA. AYA BISA BAPER KALAU GINI TERUS, AWAS AJA KALAU LANGIT CUMA BAPERIN AYA TERUS DITINGGAL PERGI. BAKAL AYA CARI SAMPAI KE UJUNG DUNIA."

***

"Langit, nanti kita masak yuk. Jadi Aya kepikiran buat masak steak gitu. Gimana?" usul Aya dengan mendekatkan wajahnya ke arah Langit.

"Boleh. Nanti biar gue yang belanja."

"Aya ikutttt." rengek Aya sambil memanyunkan bibirnya. "Enggak. Lo di rumah sama Nenek buat nyiapin tempatnya. Gak usah ngeyel kalau dibilangin."

Aya memilih diam dengan tangan bersedekap. Namun suara Langit membuat Aya menahan senyum dan itu sangat lucu bagi Langit. "Pegangan. Gue gak tanggung jawab kalau sampe lo jatuh."

Motor itu membelah jalanan dengan menaburkan aroma bahagia dari mereka berdua. Seolah semesta setuju akan kedekatan dan kebersamaan yang tercipta oleh mereka.

"Yey udah sampai." ucap Aya dengan girang. Dia sudah hafal jalan untuk kesini sangking seringnya kesini. Keduanya memasuki rumah yang tampak sepi.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh ada Aya. Duduk dulu." ajak ramah Nenek Santi.

"Nenek, Aya kangen tau sama Nenek. Aya niatnya mau bikin bakar-bakar disini. Boleh, kan?" tanya Aya. "Boleh aja. Asal jangan bakar rumah."

"Ahahahahah Nenek bisa aja." tawa Aya menguar menciptakan aura positif dalam rumah itu. "Kalau gitu Langit belanja bahannya dulu."

"Hati-hati. Jangan ngebut Langit." pesan Nenek Santi sambil berjalan keluar. Aya menatap wajah Langit saat kecil hingga satu foto membuat dirinya terkejut.

"Nenek ini siapa?"

"Loh, kan kamu kenal. Itu Mamanya Langit. Kamu lupa ya?" tanya Nenek Santi.

"Kenapa wajahnya sama kayak Tante Marisa, ibunya Alta?" tanya Aya dengan bingung.

"Kan emang Alta itu Langit. Kamu udah denger dari Langit? Dia kan sudah tau kalau kamu itu temen kecilnya." jelas Nenek Santi membuat Aya menahan sesak di dada.

"Jadi Langit itu.... Alta?"

Nenek Santi mengangguk. Tapi wajahnya menunjukkan keraguan. "Bentar, Langit udah cerita sama kamu?"

Aya menggeleng pelan, lalu mengambil tasnya dan berlari keluar. "Loh Aya mau kemana? Langit kan masih beli bahan."

"Aya pulang dulu Nek. Bilang sama Langit kalau Aya gak mau ditemuin dulu." ucap Aya dengan isak tangis pilu.

Langit yang mendung membuat Aya semakin tersedu-sedu. Langit seakan-akan ikut menangis. Menangisi kebodohan Aya selama ini. Hingga hujan turun dengan derasnya.

"KENAPA? KENAPA LANGIT JAHAT? KENAPA LANGIT GAK BILANG KALAU ALTA ITU LANGIT? KENAPAAA?!?!?!"
teriak Aya dengan suara gemetar. Biarkan dia menyuarakan kekecewaannya selama ini. Biarkan air matanya menghilang diterpa hujan. Biarkan dia sendiri untuk sementara waktu. Biarkan.

***

Daebakkkk. Selesai juga. Kalian ada kepo gak sih baca lanjutannya? Tunggu kelanjutannya beberapa hari kedepan. Jangan lupa tinggalin jejak setelah membaca.

agirllovednoodle

Dear Langit (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang