BAB SATU

42.9K 1.2K 5
                                    

A/N : Ini adalah novel pendek yang tergabung dalam The Millian's Love Story. Cerita ini sequel dari Stole His Heart, tapi bisa dibaca secara terpisah.

Re-post update satu minggu sekali, setelah ending akan dihapus, untuk versi full sudah tersedia di Google Play.

***

"Aku mencintaimu, Kath." Dia menunduk, berlutut di hadapan wanita pujaannya, dengan sebuah kotak beludru di tangannya.

Senyum pria itu tampak secerah mentari. Wanita di hadapannya membalas tatapannya dengan nanar. Tak disangka, dia meraih tubuhnya dengan mudah, memeluknya erat dan terisak di dalam pelukannya.

Pria itu membalas pelukan wanitanya. Diraihnya jemari wanita itu ke dalam genggamannya. Ia menyematkan cincin di jari manisnya dengan hati-hati. Perasaannya membuncah. Hatinya berbunga-bunga. Penantiannya selama ini tak sia-sia. Akhirnya wanita itu menjadi miliknya sekarang.

"Kau mau hidup bersamaku dan Sebastian?" Ansell mengecup punggung tangannya seringai bulu; Kathleen mengangguk pasrah.

Biarlah, wanita itu mungkin kini tak mencintainya. Tapi nanti, pelan dan pasti, Ansell akan membuat Kathleen melupakan Diego Millian. Mereka akan menjalin keluarga kecil bersama Sebastian Millian. Semuanya akan baik-baik saja.

"Dua minggu lagi." Ansell mencium bibir Kathleen sekilas. Senyumnya terlukis merasakan bibir Kathleen bergerak membalas ciumannya.

"Ya, dua minggu lagi, Ansell Millian." Kathleen balas berbisik. "Aku akan pergi sekarang," ucapnya serak. Ansell dengan tak rela melepaskan pelukannya, membiarkan Kathleen Riamos pergi bersama dengan buah hati mereka, Sebastian Millian.

Keduanya menghilang ditelan cahaya putih, Ansell membelalak. Dia menatap sekitarnya, tiba-tiba ruangan yang dia tempati berubah temaram. Di mana ini? Ansell berubah panik.

"Seorang anak kecil berusia 5 tahun tewas...." Suara-suara itu mengelilinginya. "Bersama dengan wanita bernama Kathleen Riamos."

Ada apa ini?

Ansell berlari, mengejar paramedis yang tengah mendorong ranjang rumah sakit. Ia mengejarnya dengan susah payah. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dengan perasaan takut, dibukanya kain putih yang menutupi orang itu....

"Tidak!" teriak pria itu terbangun dari mimpi buruknya. Napasnya terdengar memburu. Ia melirik sekitarnya dengan was-was. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menahan rasa sakit yang menghantam dadanya.

Air matanya lolos membasahi pipinya. Hanya sedikit, namun mampu melampiaskan rasa sakitnya. Ansell Millian segera menghapusnya dengan kasar. Tidak. Dia baik-baik saja. Jakun pria itu naik-turun, ia kembali menatap sekitarnya dengan waspada.

Diraihnya segelas air di atas nakas, Ansell menenggaknya hingga tandas. Ia memejamkan kedua matanya, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai kalut. Lima tahun telah berlalu, mimpi itu masih menghantuinya. Rasa sakit itu masih membekas di hatinya.

Dia telah berusaha keras untuk berlari, mencoba menerima kenyataan pahit di hadapannya. Tapi, kepedihan itu terus mengoyak dirinya. Ansell Millian tak bisa. Ia tak bisa melupakan Kathleen Riamos dan anaknya, Sebastian Millian. Tuhan terlalu kejam merenggut semuanya.

Kenapa?

Mereka hanya perlu menunggu dua minggu lagi. Dua minggu lagi ... Ansell mengacak rambutnya dengan kesal. Kebahagiaan nyaris mendekatinya.

"Ansell? Kau di dalam?" Ketukkan di pintu membuyarkan lamunannya. Ansell segera beranjak dari ranjangnya. Ia mencoba memasang raut wajah datarnya ketika pintu telah terbuka.

Ibunya, Camryn Millian, wanita itu menatap Ansell dengan senyum di bibirnya. "Maaf, aku harus membangunkanmu lebih pagi," bisiknya.

"Kita harus segera bergegas Ansell." Ibunya melirik jam di dinding; Ansell mengikuti arah pandangnya. Waktu tampak menunjukkan pukul setengah lima pagi.

"Kau baik-baik saja?" Camryn menepuk bahu Ansell mendapati pria itu tertegun.

Ansell terhenyak, "Eh?" Ia menggaruk tengkuknya lalu tersenyum kaku. "Aku baik-baik saja. Aku akan segera mandi kalau begitu."

"Baiklah. Aku menunggumu di bawah." Kemudian pintu tertutup dengan rapat, Ansell segera melangkah menuju kamar mandi, melakukan ritualnya secepat mungkin.

Ia mengusap rambutnya dengan handuk seraya menatap bayangan dirinya di cermin. Pria itu meraih tuxedo di hadapannya lalu memakainya. Ansell menyisir rambutnya serapi mungkin.

Demi ibunya ... Demi mereka semua yang khawatir padanya.

Ansell tersenyum kecut. Dia tak pernah berharap ini terjadi. Tidak karena hatinya masih belum sembuh dari luka. Hidup sendirian, semaunya, hanya dengan wanita yang mengelilinya, mungkin ... Semua itu sudah cukup.

Namun, Ansell tak bisa terus-menerus membuat ibunya khawatir dan mendesaknya. Usia ibunya tak lagi muda, waktu berjalan dengan cepat. Lagipula, dia terlalu menyayangi ibunya. Camryn Millian adalah segalanya di dalam hidupnya. Ansell akan melakukan apa pun demi kebahagiaan wanita itu. Termasuk saat ini....

....Ini hanya permintaan mudah. Ya, Ansell pasti bisa melakukannya. Hanya menikah, bukan melupakan Kathleen.

Hanya menikah. Sekali lagi dia melafalkan dua kata itu di dalam hatinya.

Unexpected Reality (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang