Selamat membaca 💙_______
Sebulan setelah kejadian tak terduga itu, Lia kira semuanya akan selesai sampai di sini. Ia kira tak akan berhubungan dengan Adinda dan calon suaminya yang sampai saat ini tidak diketahui namanya.
Tepat sehabis sholat dzuhur, Lia mendapat WA dari Adinda. Yah, entah sejak kapan ia dan Adinda bertukar nomor. Penasaran dengan chat dari Adinda akhirnya Lia membukanya, ternyata sebuah foto.
Lia nyaris melempar ponselnya ke lantai. Untunglah ia bisa menguasai diri. Lia hanya terkejut melihat sebuah foto hantu yang dikirim Adinda. Ada-ada saja, ia kira foto apa. Dengan cepat Lia menghapus foto yang tersimpan di galeri. Fakta yang jarang orang tahu adalah Lia takut melihat sesuatu yang berbau horror.
Lia membalikkan ponselnya sedikit kesal. Meski ia mendengar suara getaran dari ponselnya yang tiada henti. Ia sempat mengecek sebentar ternyata masih dari Adinda yang spam chat.
Masa bodo ah! Aku kesal dengan tingkah jahilnya itu.
Lia mematikan data seluler, kemudian beralih mengklik musik. Mungkin dengan sedikit lagu Lia bisa sedikit tenang. Kurang lebih setengah jam lagu 'Man Ana' terus berputar mendominasi tempat kerjanya. Sejauh ini, memang butik Lia sedikit ada penurunan pemesanan dan jarang juga pelanggan yang datang. Yang tambah membuatnya pusing adalah awal setelah kakak Adinda waktu itu komplain, dari situ tiba-tiba banyak dari pelanggan tetap yang juga ikut komplain.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Udah makan?" tanya Aliya, dia baru saja selesai mengantar pesanan baju ke pelanggan.
Lia menggeleng, lalu menenggelamkan kepalanya ke lipatan tangan.
"Makan dulu, nih." Aliya mendorong sebungkus plastik berisi nasi kotak dan minuman. Lia hanya melirik sekilas, kemudian kembali menenggelamkan wajah.
"Aw," pekik Lia langsung menatap Aliya sewot.
Lia mengusap pipinya yang dicubit oleh Aliya. "Makan aja duluan," kata Lia, lantas beranjak dari kursi, namun belum sempat Lia melangkah Aliya sudah lebih dulu menahannya.
"MAKAN," ucapnya penuh penekanan.
Lia hanya mengangguk malas. Yah, malas berdebat dengan Aliya yang gak akan ada habisnya.
_______
Kali ini tanpa sengaja Lia berpapasan dengan Adinda yang sedang menunggu di sebuah toko percetakan. Dia tersenyum melihat Lia, Lia balas tersenyum. Dari jauh dia melambai-lambaikan tangan menyuruhnya ke tempatnya.
Lia melangkahkan kaki dengan malas. Sebenarnya ia hanya sedang jalan-jalan keluar sebentar cari anginlah istilahnya. Tapi, begitu di luar ia harus bertemu dengan Adinda.
"Duduk, Mbak."
"Iya, lagi nunggu apa?" tanya Lia basa-basi.
"Ouh, ini lagi nunggu percetakan buat undangan nikah. Cuma contoh aja, sih. Soalnya aku dan calon suamiku debat masalah warna undangan, gitulah."
"Gak kerasa, yah."
"Em, iya."
"Ini dia. Makasih, Pak."
Setelah membayar, Lia dan Adinda duduk di warung samping dekat toko percetakan. "Nanti aku undang, tenang aja, Mbak."
Lia hanya tersenyum tipis sebagai jawaban, padahal ia tak terlalu berharap juga diundang Adinda. Selain karena malas dengan calon suaminya itu. Entah kenapa Lia hanya enggan datang.
"Ini mbak contoh undangannya, menurut mbak bagus yang warna gold-black pilihan calon suamiku atau warna silver-blue pilihanku."
Tangan Lia meraih dua undangan di atas meja. Ia memperhatikan depan dan belakang kedua undangan tersebut. "Menurut pendapatku sih dua-duanya bagus. Hanya saja kalau gold-black terlihat elegan dan silver-blue terlihat lebih fresh dan cerah."
"Jadi?"
"Gold-black," jawabku.
"Yah, mbak ini suka yang elegan yah dari pada yang fresh dan cerah?"
Lia menganggukkan kepala. Menatap langit yang berubah jingga. Entah sudah berapa jam Lia keluar butik dan tak kembali lagi. Mungkin saja di butik Aliya sibuk sendiri karena tak ada Lia.
"Lihat lagi boleh?" tanya Lia.
Adinda mengangguk.
Adinda Dewi Ratnasari
&
Muhammad Fahrian
Hati Lia sedikit tertohok setelah melihat kedua nama itu dalam undangan pernikahan. Mengapa? Mengapa harus dengan nama itu. Hah, Lia jadi tak enak hati dan seakan kembali pada masa-masa dimana ia pernah menolaknya. Apa dia masih sakit hati? Hah, semoga dia baik-baik saja.
"Mbak."
"Eh."
"Kenapa? Kok bengong. Ada masalah?"
"Ah, gak ada."
Lia beranjak dari kursi. "Assalamualaikum, saya permisi duluan."
Lagi dan lagi kenapa semuanya seakan kebetulan? Aku jadi tak tahu harus berbuat apa.
_____
"Berhenti mikirin dia!" Suara Aliya terdengar keras dipendengaran Lia.
Lia yang sedang tengkurap di kasur dengan laptop yang menyala, menatap Aliya sekilas.
"Gue tahu lo lagi mikirin si Fahrian itu 'kan. Yang dulu lo tolak cintanya, yang bla ... bla ... bla ...." Lia tak mendengarkan semua ocehan Aliya. Inilah yang tidak ia suka dari sifat Aliya. Dia terlalu bawel dan ikut campur.
Aliya tiba-tiba menimpuk Lia dengan bantal. Hal tersebut membuat Lia mendelik kesal. "Kak Aliya!!"
"Apa?" tanyanya dengan nada songong. "Gue tahu lo gak dengerin omongan gue."
"Yah, gak sampe nimpuk pake bantal juga!" kesal Lia dengan nada ngegas.
"Bodo!"
Meski semua yang diucapkan Aliya ada benarnya. Tapi, mungkin itu hanya sekedar masa lalu dan tak akan mungkin terulang lagi. Mungkin kisah Lia dengan Fahrian hanya sampai masa itu.
Aku gak berharap dia kembali, tapi kenapa suami Adinda bikin aku kepikiran dia lagi?
______
Rabu, 28 Oktober 2020
Revisi : 30/04/2022See you next part😎
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry and Thanks 2 [TAMAT]
Ficção Geral(SEQUEL SORRY AND THANKS) [Disarankan membaca cerita 'Sorry and Thanks' dulu] Luka, air mata, dan sesak menggerogoti hati Amalia. Perasaan cintanya seolah hilang tak berbekas ketika Fahrian datang hanya memberikan luka yang amat menyakitkan. Bagaim...