14. (Bertemu Ali)

185 18 2
                                    


Selamat membaca 💙

_________


"Lo kenapa Lia?" tanya Dea begitu Lia menutup wajah dengan ke dua telapak tangan setelah pulang dari butik.

Bibir Lia hendak menjawab, namun kelu hanya untuk sekedar seucap kata. Jika dibilang lega setelah memutuskan semua kerumitan ini, iya memang. Tapi, jujur saja sudut hatinya menentang keputusan itu.

"Lo masih gak rela memutuskan ini? Bukannya lo udah pikirin matang-matang, yah." Tangan Dea mengelus punggung Lia guna memenangkan hati dan pikiran Lia yang kalut dan ambyar.

"Ka-lau pun be-gitu memang i-ya," jawab Lia terbata-bata.

Suara helaan napas Dea menerpa sisi kerudung Lia. "Lo yakin bakalan lanjutin keputusan lo? Sebelum semuanya terlambat. Ingat Lia pernikahan itu bukan hanya sementara tapi seumur hidup."

Lia mengusap air matanya yang tersisa. Lalu menatap Dea. "Aku gak akan mungkin kecewain ayah. Aku bakalan berusaha untuk melupakannya."

Iya, mungkin saat perbincangannya dengan Fahrian di butik Lia terlihat biasa saja dan menanggapinya dengan tenang. Tapi, sejujurnya hati Lia menjerit keras dan menangis tiada henti. Tapi, semua takdir dan keputusan ini memang sudah semestinya. Lia yakin Sang Maha Kuasa memiliki jalan terbaik untukku.

"Oke, semoga Yang Maha Kuasa punya rencana terbaik buat lo."

"Iya De, semoga," sahut Lia lirih.

--------

Seminggu setelah kejadian itu Lia tak lagi mendapati Fahrian. Iyah, padahal dua hari setelah perbincangan itu Fahrian sempat berpesan kepadanya bahwa ia akan berusaha memperjuangkan apa yang semestinya ia dapatkan.

Aliya menyimpan secangkir kopi susu di atas meja Lia dengan hentakan cukup keras. Jelas saja Lia yang sedang melamun terlonjak kaget.

"Bengong aja, kenapa? Masih kepikiran sama dia?" Aliya menyenderkan tubuhnya di depan meja sambil menyeruput kopinya.

Lia hanya menggeleng. Selanjutnya kembali menyibukkan diri dengan mendesain gamis di buku khusus.

"Kalau lo gak rela kenapa gak lo tolak aja lamaran itu." Aliya menatap Lia masih dengan secangkir kopi yang dipegangnya.

Lia menghela napas. "Please, jangan bahas itu lagi."

"Oke."

Aliya menaruh cangkir berisi kopi itu di atas meja dengan keras sampai kopinya tumpah.

"Kak Aliya!" Buru-buru Lia menyelamatkan buku khususnya sebelum buku tersebut terkena tumpahan kopi.

"Eh, sorry. Gue lupa bilang sama lo. Tadi pagi ada cowok datang ke sini. Kalau gak salah dia ngajak lo ketemu di Cafe deket butik katanya dia gak sendiri dia sama temennya. Jadi lo boleh bawa temen juga."

"Ouh oke. Jam berapa?"

Aliya melirik jam tangannya. "Ya ampun! Lo harus datang sekarang juga pasti dia udah nunggu sejam. Tadi bilangnya jam sem—"

"Oke, Kak makasih." Tanpa banyak bicara lagi Lia melesat pergi.

______

Begitu Lia dan Dea memasuki Cafe sudah ada dua orang laki-laki yang menunggu di meja yang dekat jendela tak jauh dari pintu Cafe. Salah satu laki-laki berkemeja putih melambaikan tangan. Tak salah lagi ini pasti dia.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab kedua laki-laki itu.

"Sebelumnya saya minta maaf karena mengajak kamu keluar. Saya Ali." Laki-laki berkemeja putih itu menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

Sorry and Thanks 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang