11. (Hancur)

215 22 2
                                    


Selamat membaca 💙

______


Lia masih sibuk membuat desain model gamis di buku khusus untuk desain. Rasanya hari ini sulit sekali berkonsentrasi. Entahlah, seperti ada sesuatu hal yang mengganjal di hati.

Sejak lima menit lalu, ponsel Lia terus berbunyi. Ia tahu itu pesan dari Fahrian kw atau temannya Fahrian tetangganya. Tapi, perasaan ini seolah menyuruh Lia untuk diam dan tak menanggapi itu.

Sayang, dimenit ke sepuluh sebuah panggilan masuk. Tertera nama Fahrian kw. Lama berpikir akhirnya Lia memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

[Assalamualaikum]

"Waalaikumsalam, kenapa?"

[Coba baca chatku]

"Ada apa, sih? Kalau ada hal penting lebih baik bilang secara langsung."

Terdengar helaan napas di seberang telepon.

[Oke, gue rasa ini memang harus dibicarakan langsung, gue tunggu jam 1 siang di cafe dekat butik]

"Iya."

Setelah itu sambungan telepon terputus. Lia yang penasaran akhirnya membuka chat dari Fahrian kw.

Deg!

"Astaghfirullah." Lia mengusap wajahnya pelan setelah itu ia membalikan ponselnya.

Lagi dan lagi hal ini membuatnya bimbang. Lia masih tak paham kenapa Fahrian terbang ke Jerman dengan waktu yang mendadak. Dan dengan mudahnya dia bilang soal jawabannya nanti bisa dikirim lewat chat kepada Fahrian kw.

Gila! Itulah yang terlintas di kepala Lia. Apa sih yang dipikirkan Fahrian? Dia serius atau main-main dengannya? Apa menurutnya perasaan ini hanya sebuah lelucon yang bisa dipermainkan sesuka hati?

Kondisi hati Lia sedikit membaik setelah shalat dzuhur. Tapi, beribu pertanyaan masih bergemul di dalam kepalanya.

Lia sedikit terkejut dengan suara gelas yang diletakan cukup keras tepat di depannya.

"Fahrian kw, kamu harus jelasin sejelas-jelasnya."

"Bisa gak panggilnya Rian aja, jangan Fahrian kw kamu kira saya barang tiruan." Raut wajah Rian masam.

"Iya-iya."

Lia mengetuk-ngetukan jari ke meja menunggu Rian yang sedang menikmati minuman yang dipesannya.

"Fahrian kw!"

"Sabar dong, aku butuh tenaga buat cerita."

"Gak usah banyak omong, bisa gak?" kata Lia dingin.

"Hm, gimana, yah. Jadi, intinya Fahrian punya temen di Jerman dan karena neneknya tuh cewek sakit. Dia sampai rela terbang ke Jerman hari ini-"

"Apa? Cew-"

"Stt, jangan potong ceritanya. Cewek itu temen deketnya Fahrian semasa kuliah. Bisa dibilang ceweknya pendiem sampe gak punya temen. Temennya cuma aku sama Fahrian."

"Terus kapan dia pulang?"

"Em, katanya setelah keadaan neneknya tuh cewek membaik."

"Siapa nama cewek itu?"

"Sami."

Dalam suasana cafe yang lumayan ramai, Lia terdiam berusaha menata ulang hatinya yang hancur. Ia menelan ludah. Bingung? Itulah yang terlintas di kepalanya. Bagaimana dengan keputusan Lia? Ditengah dua persoalan yang menghimpitnya.

Intinya, Apakah ia akan perjuangkan cinta yang tak pasti dengan seseorang di masa lalu? Ataukah dengan orang baru yang melamarnya duluan?

Bahu Lia bergetar dan menangis dalam diam. Rian kembali bersuara. Meski Rian tak melihat wajahnya sebab Lia menenggelamkan wajah diantara lipatan tangan.

"Fahrian cinta banget sama kamu Lia."

"Dia hanya gak bisa berpikir jernih."

"Dia betul-betul mencintaimu Lia bukan cuma cerita semu atau bualan semata."

"Aku yakin dia-"

"Cu ... kup," potong Lia dengan nada sedikit tersendat.

"Jangan berusaha meyakinkanku. Karena hatiku sudah hancur untuk kedua kalinya."

Lia mengusap sisa air matanya. Lalu mengangkat kepala dan kembali menunduk, karena malu dilihat oleh Rian.

"Tapi, lo suka 'kan sama Fahrian?"

Napas Lia masih terasa sesak. Tapi, berusaha ia stabilkan. "Bagaimana rasanya kalau kamu dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit?"

"Maksudnya?"

"Kamu gak akan paham."

_______

Lia bingung. Haruskah ia mempercayai apa yang Rian sampaikan padanya. Tapi, entah kenapa pernyataan dari Rian membuat Lia semakin merasa sakit. Fahrian bahkan pergi tanpa pamit padanya, dan hanya menyampaikan pesan pada Rian. Terlebih lagi tindakan Fahrian sekarang membuat Lia ragu. Cowok itu seperti mempermainkannya.

Lia menenggelamkan wajahnya ke bantal. Berharap sesak di dada dan air matanya tak keluar lagi.

"Lo kenapa lagi?"

"De, aku harus gimana?"

"Kenapa emangnya?" Dea duduk di tepi kasur sambil mengusap kepala Lia yang masih tertutup kerudung.

"Aku harus terima cinta Fahrian atau lamaran anaknya temen ayah?"

"Udah shalat istikharah, atau gak berunding sama ayah dan ibu lo."

"Shalat udah, soal berunding belum."

"Coba deh bicarain sama ibu dan ayah lo, seenggaknya lo ada sedikit pencerahan. Gue rasa ibu dan ayah lo gak maksa buat nerima lamaran itu 'kan?"

Lia mengangguk. "Makasih, De."

Lia merebut ponsel milik Dea, dan entah untuk keberapa kalinya kenyataan kembali menikam dada Lia. Disana ada foto seorang perempuan sedang tertidur di dekat brankar disebuah rumah sakit yang diunggah di sosial media pribadi Fahrian. Captionnya "Semangat Sami, pasti bisa aku percaya🤗💪💪"

"Lia."

"Lia."

Lia hanya diam meski Dea memanggil.

"Dea, aku tahu jawabannya sekarang."

"Tapi, lo jangan ambil keputusan buru-buru."

"Udah cukup 'kan selama ini dia selalu bermain-main." Lia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan mata berharap pilihannya benar adanya dan tak akan menyesal.



_______

Kamis, 5 November 2020
Revisi : 9 Mei 2022

Sebelumnya makasih buat para readers yang menyempatkan baca dan Comment😊

Gimana menurut kalian part ini? Aslinya author rada nyesek pas ngetik😢

See you next part😎

Sorry and Thanks 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang