Selamat membaca 💙______
Setelah seharian kemarin Lia berpikir keras tentang tawaran Fahrian, ditambah dengan shalat istikharahnya. Tapi, jawabannya entahlah. Lia belum menemukan jawaban itu. Kalau tidak melalui mimpi mungkin bisa jadi lewat keadaan."Lia, ayo, Nak sarapan dulu."
"Iya, Bu."
Lia memakan sarapannya dengan pikiran yang masih memikirkan tentang jawaban yang akan ia berikan kepada Fahrian nanti. Memang, sih Lia belum bilang pada ibu dan ayahnya soal ini. Tapi, hatinya seolah mengarahkan agar ia menerima Fahrian. Apakah mungkin ini jawaban.
"Ibu dan ayah mau bicara sesuatu, Nak," kata ibu setelah selesai sarapan.
Lia yang hendak beranjak pergi untuk ke butik kembali duduk. "Bicara aja."
"Kak Al, duluan aja, yah," ucap Lia begitu Aliya baru saja selesai dari kamar mandi usai sarapan.
"Oke."
"Ayah sebelumnya minta maaf baru kasih tahu sekarang. Sebenarnya seminggu lalu anak teman ayah dan ayahnya datang ke sini berniat melamar kamu, Nak. Tapi, ayah belum menjawab pasti. Ayah bilang soal menerima atau tidaknya itu ayah serahkan kembali pada kamu."
Penjelasan sang ayah mendadak membuat Lia terdiam. Lidahnya kelu, apa maksudnya ini? Pikir Lia. Mungkinkah kata hati Lia salah? Lagi pula ia sudah lebih dulu dilamar. Jika dibandingkan dengan Fahrian yang terlihat tidak begitu nampak perjuangannya.
"Bagaimana, Nak?" tanya ibu karena sedari tadi Lia hanya diam sambil menatap kesegala arah.
"Ah, em ... nanti Lia pikirin lagi. Lia berangkat ke butik dulu."
Hati Lia masih belum siap untuk menjawabnya. Jadilah ia memilih mengalihkan topik dengan beralasan pergi ke butik.
____
Sebuah chat dari seseorang membuat Fahrian panik. Ekspresinya mendadak khawatir. Sampai ia buru-buru menelpon Rian untuk datang ke kontrakannya.
"Fahrian!"
Suasana di dalam kontrakan mendadak tegang. "Lo udah gila!" teriak Rian sambil terus berjalan menghampiri Fahrian yang terduduk di tepi kasur.
"Please, bantuin gue. Ini darurat," mohon Fahrian pada Rian sambil memegang tangannya.
Tapi, Rian menepis tangan Fahrian kasar. "Lo bisa mikir gak?!" Emosi Rian hari ini sedang tidak stabil karena perusahaannya sedang mengalami krisis masalah. Tambah lagi sekarang Fahrian membuatnya pusing.
"Gue percaya lo bisa bantuin gue, please." Fahrian sampai berlutut.
Perlahan Rian mundur selangkah. "Berdiri lo!" perintah Rian.
"Kalau minta tatap wajah gue," ucap Fahrian dengan nada menggertak.
Fahrian berdiri. "Gue minta tolong."
"Sekarang apa lagi?" tanya Rian penat dengan sikap Fahrian yang menurutnya begitu bodoh. Bagaimana tidak? Fahrian kalau sudah dilanda cinta mati sulit sekali berpikir jernih.
"Sami?" tanya Rian.
Fahrian mengangguk
"Terus?"
"Gue harus terbang ke Jerman hari ini juga, neneknya Sami kambuh lagi penyakitnya. Gue mau ke sana buat tenangin Sami," jelas Fahrian.
Tatapan Rian menajam. Ia berdecih, lalu membuang muka. "Udah gue bilang selesaikan masalah lo sama dia! Emangnya Sami gak punya temen selain lo?"
"Lo tahu sendiri 'kan Sami penyendiri, lo juga tahu soal keluarganya 'kan? Gue udah pernah cerita."
"Itu salah lo! Harusnya dulu lo jangan sok berkorban buat dia, jad—"
"Gue gak mau debat, bantuin gue yah," potong Fahrian. Sebelah tangannya mengambil tas.
"Lo tolong urus Lia, bilang aja kasih jawabannya lewat chat ke lo." Tanpa mendengar persetujuan, Fahrian berjalan melewati Rian.
Namun, Rian lebih dulu menarik baju Fahrian dari belakang. "Lo bego, yah?! Gue tanya diantara Lia dan Sami siapa yang menurut lo lebih penting?" Napas Rian memburu. Ia sudah geram dengan kelakuan Fahrian.
"Kali ini jelas Sami lebih penting, dilihat dari keadaannya. Harusnya lo juga dukung gue, lo gak ngerti karena gak pernah berada diposisi gue!!" amuk Fahrian.
Fahrian kembali berjalan. Namun, langkahnya kembali terhenti. "Gue ngerti, karena gue pernah ngerasain rasanya penyesalan karena kebodohan dan keputusan yang terburu-buru. Lo mikir gak gimana perasaan Lia? Meskipun dia cuek, tapi lo gak tahu 'kan perasaannya? Dia bakalan mikir lo mainin perasaan dia lagi!"
"Gue balik, setelah kondisi nenek Sami baikan," sahut Fahrian dingin.
Sekarang, Rian kehabisan kata untuk menasihati Fahrian yang keras kepala. Rasanya, harus selalu begini. Entah, Sampai kapan Fahrian tak juga sadar akan perilakunya.
Rian tahu Fahrian sangat mencintai Lia. Tapi, tindakannya tidak mencerminkan rasa sukanya. Pemikiran dan keputusannya itu membuat Rian geram.
Haruskah? Haruskah Rian yang menjelaskan dan menyelesaikan perkara asmara Fahrian? Kepala Rian rasanya mau pecah. Belum lagi setelah ini, ayahnya meminta ia datang ke rumahnya. Yah, meskipun perusahaan itu sudah dipimpin dan dipegang Rian. Tapi, ayahnya masih terus memantau perkembangan perusahaan.
Pastilah di sana ia akan disemprot habis-habisan. Bagaimana ini? Masalahnya semakin rumit. Bak benang kusut yang berusaha diuraikan namun bukannya lurus, malah semakin kusut dan berbelit.
Entah bagaimana ekspresi dan perasaaan Lia? Namun, dengan berat hati Rian mengirimkan pesan pada Lia.
_________
Rabu, 04 November 2020
Revisi : 9 Mei 2022Sebelumnya terimakasih buat para readers dan buat readers yang menyempatkan Comment buat semangat author 😄❤️
Gimana nih pendapat kalian? Mungkinkah Fahrian dan Lia bersatu?
Greget/ kesel sama sikap Fahrian?
See you next part 😎
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry and Thanks 2 [TAMAT]
General Fiction(SEQUEL SORRY AND THANKS) [Disarankan membaca cerita 'Sorry and Thanks' dulu] Luka, air mata, dan sesak menggerogoti hati Amalia. Perasaan cintanya seolah hilang tak berbekas ketika Fahrian datang hanya memberikan luka yang amat menyakitkan. Bagaim...