9. (Bertemu)

210 23 0
                                    


Selamat membaca 💙

_________


"Sampai kapan harus sembunyi terus?" tanya M. Fahrian pada temannya yang tengah terduduk di ruang tamu, sambil menunduk.

"Harus aku yang selalu menemuinya? Dia gak akan percaya ucapanku!! Dia akan berpikir aku gila karena berusaha mendekatinya, sedangkan aku sudah beristri!!" M. Fahrian meluapkan segala emosi yang terpendam di hati.

Laki-laki itu masih terdiam. Lalu perlahan mendongak menatap M. Fahrian dengan pandangan sayu. "Gue ... belum siap."

"PENGECUT!!" teriak M. Fahruan langsung berdiri.

"Gue udah muak sama lo!! Kalau lo sembunyi terus dia gak akan pernah tahu!!" Nafas M. Fahrian naik turun. Ia sudah mulai kalap akan emosi sehingga bahasanya berubah jadi lo-gue.

"Gue akan atur jadwal ketemu lo sama dia," putus M. Fahrian cepat karena tak ada respon darinya.

M. Fahrian mulai mengotak-atik ponselnya. Namun, jari jemarinya berhenti mengetik begitu laki-laki itu angkat bicara. "Biar gue yang langsung bertemu. Thanks atas bantuan lo. Gue akan terima segala resikonya, sekalipun buat gue sakit, dan kalau itu terjadi gue akan langsung terbang ke luar negri dan kembali menetap di sana."

Begitulah percakapan singkat M. Fahrian dengan Fahrian. Iya, dia Fahrian teman kuliahnya saat di Jerman. Mereka berdua memiliki sedikit kesamaan nama dan juga sifat. Namun, ada yang namanya sifat seseorang tak mungkin semuanya sama persis dengan orang lain.

Salah satu yang membedakan M. Fahrian dengan Fahrian adalah Fahrian cenderung lemah jika sudah benar-benar cinta dengan seseorang. Hingga akal pikirannya seolah tak berfungsi. Sedangkan ia masih bisa mengendalikan semuanya. Dan masih bisa berpikir sehat.

M. Fahrian harap dia benar-benar menjalankan apa yang diucapkannya.

______

Fahrian melangkah masuk ke dalam sebuah butik. Belum beberapa langkah ia berjalan. Sudah ada yang menyambutnya datang. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau bertemu dengan pemilik butik ini."

"Baiklah, akan saya sampaikan dahulu."

Fahrian duduk di salah satu kursi. Menatap sekeliling butik. Pandangannya terhenti ketika perempuan yang ingin ia temui datang.

"Ada apa?" tanya Lia langsung duduk di kursi yang bersebrangan dengan Fahrian.

"Apa lo lupa sama gue?"

Sejujurnya hati Fahrian serasa disayat pisau. Pandangan Lia terasa berbeda. Dia, seperti benar-benar tak kenal pada Fahrian.

"Ada urusan apa ke sini?" tanya Lia to the point.

Fahrian menghela napas, berusaha menetralkan gejolak hatinya yang berdentum kuat. "Gue Fahrian. Tetangga lo, adik kelas lo dulu," jelas Fahrian singkat.

"Hm, lalu?" Respon Lia terbilang santai dan seolah tak merasa terganggu atau apapun itu.

"Gue tahu lo udah nolak gue. Tapi, apa kali ini lo akan nolak gue untuk kedua kalinya?"

Lia memandang kearah dinding. "Kamu pikir saya ini barang. Yang seenaknya kamu permainkan." Lia menyahut dingin.

"Bukan. Gue cuma terlalu takut buat—"

"Hm, memang apa lagi yang perlu saya dengarkan? Tak cukup buat saya ... Ah, tidak perlu saya jelaskan. Kurasa kamu akan paham sendiri."

Lia beranjak dari kursi.

"Apa artinya lo nolak gue?" Fahrian ikut berdiri.

"Kalau lo emang benci dan gak begitu sukanya sama gue. Gue akan pergi jauh. Kalau itu emang jawaban lo. Fine, hari ini juga gue akan terbang ke luar negeri dan menetap di sana."

"Semudah itu?" Langkah Fahrian terhenti mendengar suara Lia yang terdengar lirih.

"Gue gak mungkin perjuangin orang yang bahkan gak sama sekali suka sama gue."

"Kasih saya waktu."

"Oke, dua hari."

Waktu seolah berjalan lambat begitu Fahrian meninggalkan butik. Jangan salahkan Lia, ia hanya sudah terlalu lelah dipermainkan. Ia hanya ingin kepastian.

Walau bagaimanapun masalahnya. Semoga Lia bisa menghadapinya dengan lapang dada. Meski, ada secuil rasa sakit yang tersembunyi.

____

Disisi lain Fahrian kembali ke kontrakannya. Ia tak berniat menginap di hotel atau apartemen. Karena tujuannya hanya satu. Dan waktunya tak akan lama.

Fahrian merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kontrakan. Yah, inilah hasil dari rencana gilanya saat kuliah dulu. Ia tak pernah memikirkan akibat panjang yang akan menimpanya. Dan Fahrian akui ia salah telah menyuruh temannya berpura-pura menjadi dirinya.

Dua hari. Iya, waktu itu akan segera datang dengan cepat. Saat ini, hatinya sudah benar-benar porak-poranda. Melihat bagaimana sikap Lia yang terkesan dingin, itu bukan sifatnya.

Lia akan bersikap begitu mungkin karena kecewa dengan pilihan yang diambil Fahrian. Walau sejujurnya tak ada niat sedikit pun di hati Fahrian untuk mempermainkan Lia.

Iya, Fahrian terlalu pengecut dengan memilih pergi ke luar negri.

Iya, Fahrian terlalu naif untuk mengakui perasaannya sendiri. Yang dari awal hingga sekarang masih sama.

"Lo udah ungkapin ternyata, gimana menurut lo? Gue udah bilang sih dari dulu. Jangan pengecut." Itu M. Fahrian atau biasa dipanggil Rian. Teman Fahrian saat kuliah.

"Ngapain lo di sini?"

"Gak mungkin gue biarin lo sendirian. Apalagi dalam kondisi kayak gini."

"Bahasa lo jadi berubah. Tumben, biasanya juga aku-kamu," respon Fahrian.

Rian tersenyum kaku. "Gue terpaksa pake aku-kamu karena papa. Gitulah, gue kadang suka gak kekontrol kalau ngomong kayak gini. Lo tahu sendirilah gue lagi jalanin perusahaan papa. Takutnya client pada bubar karena gue gak sopan."

"Pergi deh! Gue males lihat lo."

"Gak tahu terima kasih lo."

"Kayaknya hubungan lo sama Lia bakalan tambah rumit, deh." Rian mengacungkan ponsel milik Fahrian yang menampilkan sebuah chat dari seseorang yang baru saja sampai.

"Sini." Fahrian merebut ponsel itu dari genggaman Rian.

"Selesaikan dulu urusan lo sama tuh cewek. Sebelum Lia."

"Sial!" umpat Fahrian dalam hati.

________

Selasa, 3 November 2020
Revisi : 9 Mei 2022

Gimana nih pendapat kalian mengenai cerita ini? Seru? Geregetan? Atau kesel?

Terimakasih buat para pembaca😄

See you next part 😎

Sorry and Thanks 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang