💚Extra Part💚

391 18 13
                                    

Fyi, pengecualian buat extra part gak aku ubah ke POV 3.

Selamat membaca 💙

___________

[Lia]

Aku tidak bisa membayangkan akan berada di situasi seperti ini. Seakan semuanya hanya mimpi. Sungguh kejadian hari ini diluar dugaanku. Aku sempat sedih dan terpuruk karena kepergian Ali. Namun, Sang Pencipta ternyata punya rencana lain.

Setahun setelah kepergian Ali. Suasana hatiku sudah lumayan lebih baik. Mengingat saat itu dimana ada seorang laki-laki yang benar sungguh-sungguh menyukaiku. Seiring berjalannya waktu akhirnya dia berniat serius dengan niatnya untuk menikahiku. Sang Pencipta memberikanku penggantinya. Dan semuanya sulit kupercaya. Tapi, ini nyata.

Hari ini hari pernikahanku. Meski hatiku belum benar-benar pulih. Tapi, jika ada yang berniat serius harus kuterima. Walau aku masih ingat bagaimana dulu dia menyakitiku. Kalau jodoh? Aku tentu tidak bisa menolak bukan?

"SAH?"

"SAH!" Kata 'sah' menggema di ruangan tengah.

Aku baru saja datang ke ruang tengah. Duduk di samping dia yang sekarang menjadi pasangan halalku. Suamiku.

Sudah sore, dan tamu-tamu sudah pulang. Aku dan suamiku memasuki kamarku yang sudah dihias sedemikian rupa.

Dia menghampiriku yang tengah duduk di tepi kasur menghadap ke arah jendela kamar yang tertutup tirai putih. "Gimana? ucapanku waktu itu betul 'kan?" Ia merangkul bahuku.

"Jangan sedih, lo pasti bakalan nemuin kebahagiaan tersendiri nanti," ucapnya sambil menatap langit-langit kamar. Dia menatapku lekat. "Masih ingat?"

Gemas dengan perilakunya. Aku mencubit perutnya. Rangkulan dibahuku pun lepas. "Iyah aku inget, PUAS!"

"FAHRIAN!" teriakku keras.

Fahrian menutup mulutku. "Sttt, jangan berisik bisa gak? Baru juga nikah."

"Ngeselin banget sih!"

"Udahlah. Eh tapi hari kita nikah sama kayak hari dimana Sami nikah. Lihat." Fahrian mengangsurkan ponselnya padaku.

Disana tertera jelas undangan pernikahan Sami. Tak lupa ada foto prewedding Sami dengan calon suaminya.

"Kalau di Jerman mungkin sekarang masih siang ya."

"Ya iya kali," sahutku seadanya.

Fahrian lebih dulu mandi. Sedangkan aku masih dikasur menunggunya sambil memainkan ponsel.

___________

Pukul 08.00 malam aku, Fahrian, ibu dan ayahku, juga ibu Fahrian makan malam bersama. Semuanya terlihat bahagia. Banyak yang diobrolkan di meja kali ini. Tapi aku dan Fahrian cuek saja, kami berdua memilih khidmat menikmati makanan.

"Dulu aja ayah kira Fahrian gak serius," ucap ayahku.

"Iyah, ibu kira Lia jadi nikah sama Ali. Tapi, ternyata Allah punya rencana lain yah." Kali ini ibu ikut menambahkan ucapan ayah.

"Saya juga gak nyangka lho, soalnya waktu itu saya pindah rumah 'kan ke daerah Jakarta Selatan. Dan Ian memilih kuliah dan kerja di Jerman. Sesekali pernah nengok saya sih. Tapi, Ian gak pernah cerita soal pernah ketemu Lia. Dia cuma cerita soal temen kuliahnya aja," cerita Bu Mirna panjang.

"Siapa temennya, Bu?" tanyaku.

"Samira sama Rian."

Mataku seketika membola. Aku menatap Fahrian dengan tatapan setajam silet. "Ouh ... jadi gitu yah."

Fahrian cengengesan. "Hehe ... gak kok," elak Fahrian.

Aku menjewer telinganya. Lalu membawanya ke kamar. "Bagus yah."

"Sorry, gue ...."

"BODO!"

"Cie ... yang ngambek, lagian itu dulu sekarang mah udah beda. Kamu 'kan udah jadi istriku," katanya sambil menusuk-nusuk pipiku dengan jarinya.

"Apaan sih!"

"Uhuk, ada yang salting nih," goda Fahrian semakin gencar.

Aku memukul punggungnya keras.

"Aduh!" keluh Fahrian, dia jatuh ke lantai sambil terus mengeluh sakit di punggungnya. "Sakit!"

"Eh, sorry aku gak niat bikin sakit. Maaf," ucapku sedikit panik. Aku membantunya berdiri. Lalu, duduk di tepi kasur.

"Sakit banget," ucapnya lirih.

"Maaf, maaf banget." Sekali lagi aku memohon maaf sampai menelungkupkan kedua tanganku.

"Maaf sih gampang tapi ini ... shh sakit banget."

"Maaf Ian aku gak sengaja," ucapku lagi dengan nada rendah. Tak sadar air mataku mengalir deras melewati pipi. "Maaf," kataku lagi dengan bibir bergetar.

"Iyah, tapi ...."

"Apa?" tanyaku disela tangis.

Senyumnya tersungging. "Panggil sayang dulu."

"Hah apa? Gak mau!"

"Harus nurut lho, inget gak? Ayo dong sayangku, istriku, cintaku, honeyku, swe—"

Seketika aku merasa geli sendiri mendengar penuturan Fahrian yang terlampau sweet. "Iya iya sayang," kataku pelan.

"Apa? Gak dengar nih. Yang keras dong sayang."

Sudah kuduga Fahrian pasti sengaja. Dilihat dari bibirnya yang berusaha menahan senyum. Aku mengangguk pelan.

"IYA SAYANGKU," ucapku penuh penekanan.

"BWAHAHA ... HAHA." Fahrian tertawa terbahak-bahak seraya menepuk-nepuk kasur.

Dalam hati aku heran kenapa dia tertawa? Ada yang lucu kah?

"Lucu banget sih lihat ekspresi kamu pas bilang sayang. Kayak ...." Fahrian menutup mulutnya.

"Apa?" tanyaku marah.

"Kayak yang nahan BAB. HAHA ... HAHA."

Aku memukulinya dengan bantal sepuas mungkin.

"Aduh! Aduh! berhenti sayang."

"Gak mau! Rasain!" Aku masih tetap memukuli karena saking kesalnya.

"Walaupun sakit tapi kalau kamu yang mukul jadi gak kerasa deh," katanya disela-sela aku memukulnya dengan bantal.

"Bucin!"

"Biarin, asalkan bucinnya kamu."

Aku berhenti memukulinya dengan bantal. Buru-buru aku pergi ke kamar mandi yang ada di kamar. Setelahnya aku mendengar teriakan Fahrian dari luar.

"CIE YANG SALTING!"

____________

Kamis, 3 Desember 2020
Revisi : 19 Mei 2022

TIM FAHRIAN×LIA?

Gimana nih pendapat kalian di extra part kali ini?

Oke thanks buat kalian semua para readers yang udah setia baca ceritaku dari season pertama sampai ke season dua ini. Juga terimakasih buat para readers yang baru-baru ini baca. Pokoknya makasih banget buat kalian para readers yang udah baca, Comment, dan share ceritaku😊💚

Silahkan keluarkan unek-unek kalian tentang extra part kali ini...

See you next story😄💞

Sorry and Thanks 2 [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang