Selamat membaca 💙_______
Selepas berbicara cukup serius dengan Ali, Fahrian memilih menenangkan diri di apartemennya. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Kepalanya berdenyut. Dan hari ini sungguh melelahkan. Tidak hanya fisik tapi batin pun ikutan lelah.Mengapa? Harus kebetulan? Kenapa tiba-tiba calon suami Lia ada di Jerman dan secara kebetulan perusahaannya bekerja sama dengan perusahaan Ali. Ini apa maksudnya? Ya Rabb ... apa ini yang mau engkau perlihatkan? Atas jawaban yang selama ini ditunggu Fahrian sejak lama.
Mungkinkah Fahrian harus meninggalkan segala keinginannya. Dan lagi pun ia tidak bisa memaksakan kehendak Lia dan juga takdir Allah.
Tring!
Fahrian mengambil ponselnya yang tergeletak di kasur. Lalu membuka sebuah chat dari Sami.
Sami
[Fahri, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan. Bisa tidak kita bertemu di Cafe dekat apartemenmu? Sekarang....]Me
[Oke, aku langsung ke sana]Fahrian bersiap-siap. Lalu meluncur ke tempat yang sudah Sami bicarakan lewat chat tadi. Ia harap Sami tidak ada masalah lagi. Jika iya ada, entahlah pikirannya belum benar-benar maksimal pulih dari masalah asmaranya yang cukup rumit. Terlebih lagi kepalanya masih berdenyut sakit.
_____
"Kenapa? tumben ngajak ketemu?" Fahrian langsung memberondong pertanyaan begitu sampai di kursi yang diduduki Sami.
Fahrian langsung duduk di kursi yang bersebrangan dengan Sami.
"Fahri, sebelumnya aku mau minta maaf banget nih."
Raut gembira Fahrian berubah datar. Ia menatap Sami serius. "Kenapa?"
"Aku bohong sama kamu soal aku yang gak punya siapa-siapa lagi selain nenek. Aku minta maaf ... hiks. Aku ... hiks ... cuma sedih aja ... hiks ... keluarga besarku menjodohkan aku ... dengan laki-laki yang bahkan enggak aku suka." Penjelasan Sami cukup menyayat hati Fahrian.
Pipinya sudah basah oleh air mata. Fahrian mengambil tisu yang ada di meja. "Lap dulu coba, jelek tahu kalau kamu nangis." Fahrian menyodorkan tisu ke hadapan Sami.
PLAK!
"Aw sakit ...," ringis Fahrian.
"Kamu sih, orang aku lagi bicara serius malah becanda mulu."
Fahrian terkekeh. "Iya, udah aku maafin. Gak apa-apa. Aku gak marah kok," ucap Fahrian dengan senyuman.
"Jadi, apa maksud kamu ceritain ini semua?" tanya Fahrian.
"Aku setuju dengan perjodohan itu, lagi pula aku gak mungkin menolak. Karena aku cuma tinggal sendirian kalau gak menerima perjodohan itu. Aku gak mau bikin repot kamu terus. Aku sadar diri Fahri." Nada bicara Sami semakin melemah begitu sampai kalimat akhir.
"Jangan gitu, kalau pun terpaksa kamu gak mesti ngelakuin itu semua."
"Keputusanku udah bulat Fahri."
"Kamu yakin?"
"Aku yakin."
"Aku harap kamu bisa tetap tersenyum. Cuma itu permintaanku."
"Apa tidak ada yang ingin kamu ceritakan padaku Fahri?" Sami menatap Fahrian yang terlihat sedang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Cafe.
Sebelumnya Fahrian menghela napas panjang. Ia menatap Sami lekat, lalu mulai menceritakan tentang Lia.
PLAK!
Lagi-lagi Sami memukul lengan atas Fahrian. Ia terlihat marah setelah mendengarkan keseluruhan cerita mengenai Lia.
"Gimana sih! Kamu gak pernah bilang, kalau aja kamu bilang udah ada orang yang perlu kamu jaga dan kasih perhatian. Intinya udah mau ngiket cewek ... yah bilang!!"
Fahrian mengelus lengan atasnya yang masih terasa perih. "Sakit tahu."
"BODO! salah sendiri."
"Terus aku harus gimana?"
Sami mensidekapkan tangannya di depan dada. Ia memasang raut wajah songong. "Itu sih DL!"
"Kok gitu."
"Gini yah, dari awal emang kamu udah salah ambil langkah. Kalau aja kamu jelasin situasi ini ke aku mungkin aku bisa ngerti. Kamu gak perlulah berkasihani sama aku. Aku bisa balik ke keluarga juga kalau kamu bilang dari awal."
Bibir Fahrian kelu. Semua ucapan yang hendak ia lontarkan seakan tertelan kembali. Iya, memang benar apa yang dikatakan Sami. Ini memang salahnya.
______
Lia duduk termenung di ruangannya. Ia menatap ke arah ponselnya yang masih belum ada notifikasi apapun. Entahlah, ia hanya sedikit khawatir dengan keadaan Ali di sana dan juga khawatir juga dengan sikap Fahrian yang berubah.
"Lia, lo lagi ngapain?" tanya Kak Aliya sambil bersenda di depan meja kerja Lia.
"Aku lagi pusing, Kak."
"Yaudah pulang aja, biar gue sendiri yang jaga."
"Gak mau. Kasian Kak Aliya, takutnya nanti malah drop lagi kayak waktu itu."
Aliya mendengus.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Ngobrol bentar yuk Lia!" ajak Dea sambil menarik tangan Lia menuju ruang depan butik.
"Ngobrol apa?"
"Lha, gue mau nanya nih. Lo gak buka lowongan kerja gitu buat butik lo. Gue rasa lo butuh karyawan juga. Apalagi butik lo udah lumayan berkembang pesat. Yah ... walaupun lo belum buka cabang juga." Dea menatap Lia yang terlihat lesu.
"Gak ada, De."
"Gini, soalnya ada temen gue yang nanyain."
"Serius?" Lia melihat ada gerak-gerik aneh pada Dea.
"Eh, lebih tepatnya gini ... gue lagi suka sama satu cowok yang kebetulan kerja sama dengan jual online gue. Nah, dia punya adik cewek katanya udah lulus baru-baru ini. Dia jurusan designer lho. Please yah ...," mohon Dea.
Nyaris saja Lia menyemburkan tawanya. "Aku baru tahu loh kalau kamu suka sama cowok kayak gini ternyata," ucap Lia sambil mengulum senyumnya.
"KETAWA AJA SAMPAI MAMPUS SANA!!"
"Kalem dong, De. Entar deh aku pikirin lagi."
Lia menatap Dea serius. "Btw cowoknya kayak apa?"
Sedetik kemudian wajah Dea bersemu. Ia menyodorkan ponselnya yang terdapat foto cowok tersebut yang ada di IG.
"Cocok nih."
"Serius."
Lia mengangguk.
"Tapi ... jangan kelamaan yah. Kalau bisa langsung nikah aja."
"Iya deh, orang baru sebentar."
"Tetep aja jangan sampai kelamaan, apalagi kebablasan. Jaga jarak juga yah," nasehat Lia.
"Oke, siap."
__________
Kamis, 19 November 2020
Revisi : 10 Mei 2022Pendek yak part 17 ini. Maaf nih🙏🙏
Terimakasih buat para pembaca semuanya🤗😊❤️
Ouh iya, gimana menurut kalian part kali ini?
See you di next part💚😎
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry and Thanks 2 [TAMAT]
Ficção Geral(SEQUEL SORRY AND THANKS) [Disarankan membaca cerita 'Sorry and Thanks' dulu] Luka, air mata, dan sesak menggerogoti hati Amalia. Perasaan cintanya seolah hilang tak berbekas ketika Fahrian datang hanya memberikan luka yang amat menyakitkan. Bagaim...