Perihal Menyakitkan

133 16 5
                                    

“Tidak ada puisi yang paling menyenangkan daripada orang jatuh cinta. Dan tidak ada puisi yang paling menyakitkan daripada orang patah hati”.
🍁🍁🍁

Sebelum kepulangannya ke Jakarta, Alice akan menghabiskan satu hari ini dengan menghirup lepas udara di sebuah tempat wisata. Bernuansa tahun 91-an, Camp 91 berhasil menarik kembali Alice untuk mengunjunginya. Tempat wisata di daerah pegunungan itu begitu asri dengan taman, kolam renang, dan beberapa kamar untuk wisatawan yang berniat menginap.

 Tempat wisata di daerah pegunungan itu begitu asri dengan taman, kolam renang, dan beberapa kamar untuk wisatawan yang berniat menginap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alice berjalan pelan manaiki anak tangga yang akan membawanya pada tempat paling spesial di sana. Ia sudah sampai di atas. Alice duduk di atas bangku tua dengan menghadap ke arah senja yang sebentar lagi akan tiba.

Melawan pikiran yang terus berkecamuk tak menentu adalah perkara yang sia-sia. Alice membiarkan otaknya terus memutar memori bebedapa jam lalu. Ia terus mengingat serpihan demi serpihan menyakitkan yang terjadi. Tiba-tiba saja, fokusnya berganti pada Nara.

Alice Mika Jovanka
Arkan, Mamah sakit apa?

Setelah mengirimi pesan nomor misterius yang ternyata adalah Arkan, Alice kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Tak lupa ia pun sudah men-silent ponselnya.

Matahari mulai kembali dalam pelukan cakrawala. Semburat jingga mulai terlihat di hamparan luasnya nabastala. Dengan senyuman yang tak tahu harus diartikan sebagai kebahagiaan atau kesedihan, Alice dibuat membisu dalam pesona senja.

“Suatu saat, aku akan kembali lagi. Menikmati senja di sini, dengan perasaan yang bisa kuatur sendiri. Untuk hari ini, agar bisa tersenyum saja sangat sulit. Semoga saja, kelak aku bisa tertawa dengan bebasnya tanpa terbelenggu luka,” batin Alice.

❤❤❤

Kening Arkan berkerut saat membaca pesan dari Alice. Selama ini ia tak pernah melihat mamahnya mengeluh karena sakit. Ia harus menanyakan semua ini dan mengusir rasa penasarannya.

Arkan membuka pintu kamar orang tuanya tanpa permisi. Ia tahu, di dalam hanya ada mamahnya. Sedang papahnya, pria paruh baya itu sedang ke luar bersama Zeline dan Sera.

Klek ....

Mendengar seseorang membuka pintu, Nara segera menaruh bingkai foto itu di dalam laci. Tak lupa ia segera mengusap pipinya yang basah karena menangis.

“Mah ...,” lirih Arkan yang sudah berada tak jauh dari Nara. Arkan memperhatikan wajah mamahnya, mata itu begitu sembab. “Mamah nangis?"

Tak bisa menunjukkan rasa sedihnya, Nara menarik bibirnya untuk tersenyum. “Tidak, Arkan. Ada apa?” sanggahnya.

Arkan tak bisa mendapat jawaban dari pertanyaan Alice jika hanya diam dan mengamati wajah mamahnya yang terlihat baik-baik saja. Ia mencoba untuk duduk dan menanyakannya dengan hati-hati. “Jujur sama Arkan, Mah. Apa Mamah sakit?” tanyanya.

Different [Proses Penerbitan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang