Sudah Hilang

126 18 15
                                    

“Status hanya penting dalam suatu keadaan yang memaksamu menjawab sebuah pertanyaan. Karena, yang utama tetaplah perasaan yang sama walau dalam hubungan tanpa kejelasan”.
👀👀👀

Banyak hal di dunia ini yang bisa hilang dan tidak kembali. Usaha menenangkan Jordan dengan menutupi kenyataan yang terjadi, nyatanya tak membuahkan hasil. Pria paruh baya itu sudah kembali sadar dengan apa yang terjadi.

Nara tak tahu harus berbuat apa. Semakin hari, banyak hal yang harus ia tanggung sendiri. Beban kehidupan sudah membalut pikirannya. Nara prihatin dengan kondisi suaminya.

Jordan duduk melamun di balkon kamar mereka. Semakin hari, pria itu bersikap acuh. Tak mau mendengar, tak mau diperintah. Rasa dengki dan egois lebih mendekap erat dirinya.

Bulir air mata yang sering kali lolos dari kantong mata Nara. Wanita itu hanya bisa menguatkan suaminya dari jauh. Emosi Jordan sedikit tak terkendali saat ini.

“Mah,” lirih Arkan sambil menyentuh bahu Nara yang berdiri di depan pintu.

Nara sedikit terkejut. Ia menoleh dan mendapati putra bungsunya yang memanggilnya. “Kenapa, Kan?”

Arkan menarik tangan Nara untuk menjauh dari kamar. “Kita perlu udara segar, Mah. Ikut Arkan, ya?” ajaknya.

Ucapan Arkan ada benarnya. Tapi, Nara tak tega untuk meninggalkan Jordan sendirian. “Papahmu?”

“Kita hanya di taman depan saja, Mah. Lagi pula, papah tidak akan berbuat apa-apa,” unggah Arkan.

Nara mengangguk dan membiarkan putranya menggenggam jemarinya. Arkan tak seperti yang lain, ia lebih bisa membuat hati Nara tenang semenjak kepergian Alice.

Mereka duduk di ayunan yang berhadapan. Arkan mengeluarkan ponselnya. “Mah, Kak Alice akan segera datang,” ucapnya.

Nara sedikit terkejut. “Kamu serius? Untuk apa, Kan? Mamah takut dia disakiti lagi,” ujarnya.

Ketakutan Nara memang sempat juga dirasakan Arkan. Tapi, ia sudah membuat banyak pertimbangan. “Arkan selalu mengirimi kabar lewat pesan dengan nomor yang tidak Kak Alice tau, Mah. Kak Alice masih sangat peduli,” jelas Arkan.

Mendengar penuturan Arkan, Nara sangat menyesal sebab ia tak pernah membela Alice dulu. Ia lebih menutupi rasa kasih sayangnya. “Coba dulu mamah bersikap adil,” lirihnya.

Tangan Arkan terulur untuk mengusap lengan Nara. “Semua sudah terjadi, Mah. Mungkin Tuhan punya rencana yang baik pada akhirnya,” ucapnya berusaha menenangkan Nara.

Senyum Arkan terlihat jelas menyalurkan semangat untuk mamahnya. Ia menggenggam erat tangan Nara dan berkata, “Arkan akan selalu ada untuk Mamah.”

Nara lantas memeluk Arkan dengan begitu erat. Apa jadinya jika ia tidak punya anak yang bisa memberinya sebuah semangat.

Dari kejauhan, Zeline sedikit berlari untuk menghampiri adik bungsunya dan juga mamahnya. Zeline baru saja kembali setelah dua hari menginap di rumah temannya.

Nara yang mendengar langkah kaki orang berlari, segera menoleh dan mendapati anak keduanya yang sudah membuatnya cemas. Ia bangkit dari duduknya dan turun dari ayunan. “Kamu dari mana saja? Mamah selalu ajarin kamu buat izin. Kamu itu perempuan! Sudah dua hari tidak di rumah. Mau jadi apa kamu?” cecarnya.

Different [Proses Penerbitan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang