Distance 6

1.2K 97 14
                                    


Entah sudah kali keberapa Min Yoongi menghela nafas selama beberapa menit terakhir. Dan entah sudah keberapa kali pula dokter muda tersebut terus berulang-ulang memeriksa berkas yang berada dihadapanya. Berkas hasil pemeriksaan terakhir Park Jimin.

Helaan nafas kembali terdengar, dan kali ini Yoongi akhirnya berhenti melakukan kegiatannya. Menutup berkas tersebut, kemudian melepaskan kaca mata minusnya. Berapa kalipun Yoongi memeriksa berkas tersebut, hasilnya tetap tidak berubah meski Yoongi sangat berharap ada kesalahan dari laporan tersebut.

Yoongi memasrahkan punggungnya pada kursi, tanganya terangkat mengurut pelipisnya yang mulai berdenyut.

Memang semua pengobatan butuh proses. Mana mungkin sebuah penyakit bisa sembuh hanya dalam sekali berobat? Yoongi tahu betul akan hal itu. Tapi entah mengapa bila menyangkut Jimin, Yoongi merasa selalu gagal. Padahal bila dipikir-pikir, Jimin juga yang bandel dan sulit diatur. Jarang chek up dan sering melupakan obatnya. Kalau tidak ada Taehyung dan Jungkook yang selalu mengingatkan, mana mungkin Jimin menyentuh obat-obatnya.

Suara ketukan pintu kemudian disusul dengan seseorang yang muncul dari dari sana, sama sekali tidak mengalihkan perhatian Yoongi. Orang tersebut kemudian duduk dihadapanya tanpa dipersilahkan karena memang telah terbiasa akan hal itu.

Yoongi kemudian mendorong map dihadapanya agar mendekat kepada orang tersebut. Siapa lagi kalau bukan Kim Seokjin, Kakak dari pemilik hasil laporan pemeriksaan yang sejak tadi membuat kepala Yoongi mau meledak.

Hening menyelimuti keduanya, Yoongi yang masih tetap pada posisinya dan Seokjin yang membaca berkas tersebut berulang-ulang. Sama seperti yang Yoongi lakukan tadi.

Yoongi menghela nafas berat, kemudian menegakkan tubuhnya menatap Seokjin dengan serius.

"Stadiumnya naik. Kalau tidak segera ditangani--" Yoongi menghentikan kalimatnya. Sebenarnya tanpa dia jelaskan, Seokjin pasti paham mengingat mereka berdua sama-sama dokter hebat di rumah sakit tersebut.

"Lakukan yang terbaik Yoon. Kau tahu aku tidak bisa berbuat apapun untuknya."

"Aku bisa saja melakukannya. Memberikan pengobatan terbaik pada adikmu bahkan kalau dia mau, aku bisa membawanya ke luar negeri. Mencarikan dokter terbaik untuknya. Tapi--" Yoongi memejam, perasaannya sedikit geram bila mengingat seperti apa kelakuan Park Jimin.

"Aku yakin Jimin akan lebih memilih mati dari pada terkurung lama di rumah sakit."

Seokjin tersenyum menatap lawan bicaranya. Senyum yang terlihat begitu hangat. Dan senyuman itu yang menjadi salah satu alasan mengapa Seokjin menjadi dokter yang paling disukai di rumah sakit tersebut. Tapi berbeda dengan Yoongi. Senyum Seokjin yang Yoongi lihat hanya sebuah topeng. Bibir itu mungkin tersenyum, namun matanya tidak bisa berbohong. Mata itu penuh kesakitan, penyesalan, dan ketakutan yang luar biasa.

"Dia, hanya seorang anak yang kesepian Yoon. Dan sebagai seorang kakak aku tidak dapat berbuat apapun."

______🥀______

Seokjin baru saja selesai memarkirkan mobilnya di garasi. Ini sudah pukul satu dini hari, Jimin pasti sudah tidur. Sudah dua hari Seokjin tidak pulang ke rumah. Pasiennya semakin banyak akhir-akhir ini. Tapi Seokjin bersyukur dirinya telah diberikan kepercayaan oleh Tuhan sebagai perantara untuk meringankan beban penyakit orang lain.

Seokjin memasuki rumah yang dua hari ini ditinggalkannya, rumah yang begitu besar untuk ukuran dua orang. Pikiran Seokjin saat ini hanya tertuju pada Jimin. Selama dia tidak pulang, apa saja yang dilakukan adiknya? Apa dia makan dengan teratur? Dan apa penyakitnya berulah lagi?

Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang