Jimin lebih sering terjaga saat tengah malam hingga pagi menjelang. Rasa sakit lebih sering mendera tubuhnya akhir-akhir ini, membuat Jimin tidak bisa memejamkan matanya barang sedikitpun. Bahkan Jimin berharap, lebih baik kesadarannya terenggut sehingga Jimin tidak harus merasakan rasa sakit yang selalu menyerang tubuhnya.
Namun sepertinya, memang penyakit tersebut sedang ingin bermain-main dengannya, membuat Jimin mau tidak mau menahan semua rasa sakit tersebut sehingga membuat dirinya menjadi lemas tidak bertenaga keesokan harinya.
Seokjin tentu tahu semuanya. Seokjin tahu adiknya tidak pernah tertidur dan merintih kesakitan sepanjang malam. Namun sekali lagi, Jimin menolak keras untuk dibantu kakaknya tersebut.
Jimin sadar betul perbuatannya itu hanya akan menyakiti dirinya sendiri secara terus menerus. Namun bukan berarti Jimin tidak pernah berusaha untuk berdamai dengan hatinya. Sesungguhnya Jimin tidak benar-benar menutup hatinya untuk Seokjin. Berkali-kali Jimin berusaha memantapkan hatinya, mencoba pelan-pelan untuk memaafkan takdir dan menerima keberadaan sang kakak, berharap mereka dapat kembali seperti dulu.
Namun usaha kerasnya lenyap begitu saja saat tiba-tiba bayangan senyum terakhir sang ibu melintas kedalam pikirannya. Bayangan bagaimana sang ibu meregang nyawa didalam pelukannya. Bahkan disaat terakhirnya, sang ibu masih sempat mengutarakan kerinduanya kepada ayah dan juga Seokjin.
Jimin menyesali banyak hal kala itu. Mengapa waktu itu dirinya tidak menelpon ambulans, atau berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar untuk membantu dia dan sang ibu?
Jimin yang saat itu berusia lima tahun, hanya bisa menangis meraung-raung kala menyaksikan sendiri bagaimana sang ibu menghembuskan nafas terakhir didalam dekapan kecilnya.
Bahkan hingga saat ini, kejadian tersebut bagaikan sebuah mimpi buruk yang setiap malam menghampiri alam mimpinya. Hingga membuat Jimin pada akhirnya melampiaskan segalanya kepada Seokjin yang kala itu tiba-tiba menghilang bersama sang ayah entah kemana.
Dan hari ini adalah peringatan hari kematian sang ibu. Sudah hampir tiga puluh menit lamanya Jimin hanya menatap pantulan dirinya pada cermin. Dia terlihat begitu tampan dengan setelan warna hitam, serta rambut yang ditata rapi kebelakang hingga menampakan dahinya. Jimin terlihat lebih dewasa, meski dengan wajah yang terlihat sedikit pucat dengan lingkar hitam samar dibawah matanya.
______🥀______
Semilir angin menyapa langkah Jimin saat dia memasuki area pemakaman. Tempat yang terasa begitu sunyi namun juga menenangkan dan penuh dengan kedamaian.
Setelah berjalan sekitar lima menit, Jimin akhirnya sampai di tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.
Diatas pusara ayah dan ibunya, Jimin melihat dua buket bunga lili sudah terletak disana. Bunga yang terlihat sama persis seperti bunga yang saat ini digenggamnya. Jimin tahu, sebelum dirinya ada orang lain yang lebih dulu datang ke tempat ini. Yaitu Seokjin.
Jimin berlutut, diletakkanya bunga lili putih tersebut. Setelah itu, Jimin memejamkan matanya. Menautkan jemarinya satu sama lain, memanjatkan doa untuk keduanya yang kini telah damai di atas sana.
Beberapa saat setelah menyelesaikan doa yang dia panjatkan, mata indahnya terbuka perlahan diiringi dengan senyum manis yang terpatri pada bibirnya.
"Ayah, ibu, apa kabar? Maaf baru mengunjungi kalian."
Terhitung sejak dirinya divonis sakit, memang baru sekarang Jimin mengunjungi makam orang tuanya. Jimin berfikir, dia tidak akan sanggup menemui sang ibu dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Jimin tidak ingin membuat ibunya sedih diatas sana. Karena memang sudah menjadi kebiasaan Jimin saat mengunjungi makam ibunya, Jimin akan betah berada sepanjang hari disana untuk bercerita panjang lebar seakan-akan sang ibu ada disampingnya untuk mendengarkan segala keluh kesah yang dialaminya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Distance
FanfictionMenjadi yatim piatu serta ditinggalkan oleh sang kakak sejak dirinya masih kecil, membuat rasa benci tumbuh hingga dirinya menginjak remaja. Meski sang kakak selalu mengalah dan berusaha mendekati kembali dengan sabar, namun luka dimasa lalu tidak d...