Prolog

69 16 3
                                    


Lampu berkedip tidak beraturan di tengah ruangan pengap penuh debu. Seorang lelaki paruh baya terduduk tidak berdaya di atas kursi kayu. Sekujur tubuh dipenuhi lebam dan luka-luka berat bekas penyiksaan. Napasnya perlahan hilang seiring kesadaran yang mulai tidak seimbang.

“Kesempatan terakhir, jawab dengan benar! Siapa yang menyokong kalian?” Interogator, lelaki berpakaian rapi bertanya galak. Tatapannya mengintimidasi. Sebilah belati tergenggam erat di tangan.

Arghh.” Lelaki paruh baya mengaduh kesakitan. Mulutnya terasa ngilu luar biasa, entah bisa bicara atau tidak. Lagi pula, ia tidak merasa wajib menjawab pertanyaan bodoh itu. Karena pada akhirnya, ia tetap akan mati.

Bidak pemerintah seperti dirinya bisa diganti kapan saja. Suku cadangnya bahkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, ia tahu itu. Namun, entah kepentingan apa yang dimiliki sekelompok orang ini. Siapa sebenarnya mereka? Tujuan apa yang mereka emban? Agaknya, hal itu tidak sesederhana penyiksaan ini. Boleh dikatakan, bagi mereka ini sekadar main tebak-tebakan biasa. Mengerikan.

“Sudah kubilang, jawab dengan benar!” Interogator marah, menusukkan belatinya.

Lelaki paruh baya melenguh panjang. Tidak bisa memberontak. Yang bisa dilakukannya sekadar menggeleng pasrah. Ia tak menyangka akan berakhir mengenaskan. Padahal, rasanya baru kemarin menduduki kursi legislatif, dan sekarang malah duduk di kursi pesakitan sialan ini.

Tuhan selalu menyimpan rahasia bagi masa depan manusia. Itu ketentuan yang tidak bisa dilanggar meski dengan cara-cara kotor. Lantas, tentu saja apa yang bisa dilakukannya, bukan?  Ia menunduk. Bibirnya bergetar menahan sesak.

“Sayang sekali, Bapa,” interogator berdiri, “Anda harus segera dikembalikan. Rupanya, kami telah mendapatkan informasi dari pihak lain. Atasan menghubungi saya, ia bilang ada kecebong yang lebih mudah disuap. Cukup dibujuk sekali, mulutnya membocorkan banyak informasi. Menarik, bukan?” Ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di seisi ruangan.

Mendengar itu, lelaki paruh baya dengan sisa kekuatannya menggeram kuat. Tidak peduli lagi rasa sakit di sekujur tubuh. Kursi pesakitan pun bergoyang hebat. Temali yang mengikatnya mengencang.
Ruangan sesak bernuansa kelam berubah mencekam. Aura pekat interogator menekan kesadaran. Namun, bagi tubuh penuh luka hal itu tidak benar-benar mengancam. Tusukan belati bahkan seperti jarum baginya.

“Anda masih memiliki kekuatan sebesar ini, saya kira sudah diambang kematian. Kalau begitu, mari kita bermain sebentar lagi.” Interogator menyeringai. Barisan gigi putihnya bergemeletuk. Ia begitu semangat dengan ide gilanya.

“Bedebah! Siapa sebenarnya kalian?” Lelaki paruh baya menyalak, mulut terlukanya dipaksa bicara. Ini mungkin menit terakhir kehidupannya, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Kehilangan nyawa di saat jiwa tidak tenang atas apa yang terjadi adalah kesia-siaan.

Sebagai jawaban, interogator memukul kepalanya. Darah segar melukis dinding. Tidak puas dengan itu, ia mengangkat lelaki paruh baya tersebut, dengan kekuatan penuh membantingnya ke bawah. Kursi pesakitan hancur berkeping-keping.
 
Tawa menggema. Interogator menikmati penyiksaan, tak memberi celah walau untuk menghela napas. Bapa, lelaki paruh baya itu, sudah tak bisa menggerakkan badan. Tulang punggung terkoyak, sel-sel motorik tangan dan kaki lumpuh. Darah mengumpal di mata. Seluruh pakaiannya berubah merah.

Apakah malam sudah berakhir? Yang diingat bapa terakhir kali adalah pulang dari rapat yang membosankan. Setelah melepas canda di pintu, ia seperti biasa melangkah santai menuju mobil di tempat parkir. Saat duduk, ternyata dua orang asing menunggunya di belakang. Entah bagaimana mereka bisa masuk.

Selalu ada orang busuk di setiap negara. Mereka bagai jamur yang terus tumbuh dalam sistem pemerintahan. Berambisi mengambil alih atau apalah yang mereka sebut dengan misi agung. Lawan yang culas. Maka, sang interogator adalah hal paling nyata dari pernyataan itu. Siapa lagi yang memiliki kepentingan sampai berani menculik seorang pejabat selain dari golongan mereka?

Namun, orang baik dan jujur tidak bisa punah. Mereka akan senantiasa berkembang dan menetap. Dengan prinsip itu, bapa rela mengorbankan nyawa. Kejahatan meski punya kekuatan dahsyat tetap adalah sesuatu yang rentan.

“Menyenangkan! Dengar ini, Bapa, saat matahari menyongsong nanti, anggota kami siap menyerang. Tonggak-tonggak jujur akan segera musnah. Siapa pun penyokong kalian ia akan mati esok! Tamat. Tak ada lagi yang bisa menghalangi kami dalam beroperasi. Ingat itu sebelum Anda mati!” Interogator membalikkan badan. Mengambil sesuatu di atas meja.

Jamur Busuk Negara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang