Bab 28: Jamur Busuk Negara

16 4 0
                                    

“Hai, apa yang kau lakukan! Cepat hentikan itu!” Omar berseru dari belakang. Ia bersama AKP Ferdy bersiap menembak. Mengincar Parviz yang mulai menaiki tangga tali.

Tidak hanya itu, satuan pasukan khusus anti teror dan dua pemimpinnya terbirit-birit keluar dari museum. Menyerukan sesuatu satu sama lain. Bagai takut kehilangan tangkapan besar, mereka mulai melepas tembakan. Suara kelontang berbunyi di antara bising baling-baling helikopter.

Kenzie masih diam, sampai akhirnya moncong senjata helikopter berubah mengincar satu peleton pasukan di bawah, ia dengan terampil memangkas jarak, menarik paksa Parviz untuk turun. Helikopter menaikkan ketinggian. Dua lelaki itu bergelantungan.

Angin kencang menerpa. Kenzie menarik ujung celana kain Parviz, mempertahankan posisi. Helikopter naik semakin tinggi. Ismawan di puncak fokus menghalau serangan dari bawah. Desingan peluru dan gemuruh baling-baling membatasi pendengaran. Parviz menggoyang-goyangkan kaki, berusaha menjatuhkan Kenzie. Sepatu pantofelnya mendorong wajah sang guru dengan kuat.

Nun jauh di antara pepohonan, Kenzie melihat Evans jongkok sembari menyandang sesuatu. Di bahunya sebuah meriam berbentuk tabung sepanjang satu meter siap melontarkan peluru raksasa. Kenzie mengerjap, itu bazoka. Ia bisa tamat jika masih menggelantung. Bahaya.

Namun, Evans tetap menembak. Peluru bazoka melesat cepat, menghantam ekor helikopter. Ledakan terjadi. Burung besar itu kehilangan keseimbangan, berputar-putar di udara. Kenzie menegang, berpegangan erat pada tali. Saat jarak menuju permukaan satu meter lagi, ia meloncat. Bergulingan. Helikopter jatuh menghunjam. Baling-balingnya menghancurkan vegetasi bebatuan halaman. Entah bagaimana nasib Parviz dan Ismawan.

“Kau baik-baik saja?” Omar datang, membantu Kenzie berdiri. AKP Ferdy turut menolong. Semua serangan dihentikan. Pasukan khusus anti teror mendekati helikopter yang hancur berantakan. Beruntungnya, tidak terjadi ledakan susulan.

“Ini cukup serius, Guru Kenzie. Aku tidak mengira akan separah ini situasinya. Sayang sekali, aku harus membantu Evans yang tersangkut konspirasi ledakan tadi siang. Ia diamankan polisi.” Guru Samas keluar dari balik punggung AKP Ferdy. Evans menyertainya. Wajah bulat pemuda itu tampak kesal.

“Kalian meninggalkanku dalam keseruan ini, sialan! Bisa-biasanya para polisi itu mengamankanku? Seandainya tidak pergi lebih dulu, para polisi itu juga akan menangkap kau, Omar,” keluh Evans, seraya menyeka keringat di pelipis.

“Mana bisa. Aku toh malam ini bertarung bersisian bersama seorang perwira. Dia baik-baik saja, tidak ingin menangkapku lagi,” balas Omar, menunjuk AKP Ferdy di sebelah. Perwira itu tertawa mendengarnya.

Kenzie menepuk-nepuk baju, berdiri lebih tegak. “Dari mana kau mendapat senjata berat itu, Evans? Mengkhawatirkan sekali. Menembak tanpa meminta persetujuanku yang sedang menggelantung. Oh, ya, di mana Mikasa?” Ia berjalan menuju onggokan helikopter. Komisaris Zaenal dan Komandan sudah berada di sana, memeriksa segalanya.

Evans dan Guru Samas mengikuti langkah Kenzie. “Ah, aku meminjamnya dari pasukan anti teror. Kebetulan mereka membawanya. Ternyata, cara memakai senjata besar itu tidak terlalu sulit. Mudah saja. Aku cepat paham sekali diberitahu.”

Kenzie mengangguk, tidak melanjutkan percakapan.

Suasana menjadi sedikit lebih tenang karena Parviz dan para pengikutnya tidak lagi menyerang. Banyak dari mereka yang tumbang, kehilangan nyawa. Sebagian lagi ditangkap dengan berbagai luka di tubuh. Kenzie menghampiri Komisaris Zaenal, di depannya terduduk seorang lelaki berwajah kotor. Darah, keringat, dan debu bercampur satu. Ia tertawa pelan, menatap Kenzie pongah.

“Guru Kenzie, Anda memang hebat. Anda bersama orang-orang ini berhasil mengalahkan saya. Ah, kalian mendapat bantuan dari orang terdekat saya, rupanya. Saya tidak heran lagi. Kali ini, peran pemerintah cukup luar biasa. Hai, memenjarakan saya tidak akan berhasil menghentikan pergerakan organisasi ini. Kami akan terus bangkit, melakukan hal-hal yang perlu dilakukan,” ujar Parviz yang bersandar pada badan helikopter. Napasnya memburu. Lengan kanan dan kiri dipenuhi luka. Ismawan terkapar di sisinya. Terlihat sedang menahan sakit.

“Parviz, kau hanya jamur busuk negara.” Guru Samas menampakkan wajah. “Tidak ubahnya pemimpin dari sekumpulan orang sesat, kau hanya percaya pada ideologi persaudaraan dan berusaha menyebarluaskannya tak peduli bagaimanapun caranya. Parviz, bangsa Indonesia ini tidak selemah yang kau bayangkan. Kebebasan sejati itu hal yang luar biasa, tetapi masyarakat tetap percaya pada hal-hal yang fundamental seperti keimanan, kebudayaan, dan ajaran-ajaran agama. Dogma yang kau tanam adalah kehancuran. Terlebih, pendidikan adalah asas. Tonggak dari setiap aspek kehidupan. Sampai kapan pun juga, negara dengan bangsa Islam terbesar ini tidak akan pernah bisa melepas agama dari segalanya. Toleransi yang disuarakan hanya sebatas ingin saling paham tanpa mendoktrin satu sama lain.

"Parviz, jamur busuk seperti kau harus segera disterilkan. Keberadaan Vrijmetselarij boleh saja, tapi memaksakan ideologi dengan membunuh, menyuap, membiayai kampanye, menyusup di dalam lembaga adalah kejahatan. Bahkan, kau sendiri sudah menjadi gembong mafia hukum. Oligarki yang bermain di belakang panggung. Dengan enteng memerintahkan ini-itu untuk kepentingan diri sendiri.”

Parviz terbahak. Suaranya melengking tinggi. Komisaris Zaenal membukukan badan, memasangkan borgol di lengan lelaki itu. Dua pasukan khusus anti teror lekas membawa Parviz bersama Ismawan pergi. Bos besar dan agen kepercayaannya dinyatakan bersalah atas setiap kasus. Mereka akan menanggung hukuman berat. Orang-orang di bawah mereka, tidak terkecuali, akan mendapat hukumannya masing-masing.

Semua orang mengembuskan napas. Akhirnya, pertarungan selesai dengan kemenangan mutlak. Kenzie mendongak, tangannya berpangku di pinggang. Udara malam ini terasa lebih segar. Segala kekacauan bisa diselesaikan.

“Eh, tunggu.” Kenzie teringat sesuatu. “Pak Menteri di mana? Kita belum menemukan keberadaannya! Astaga, aku akan mencarinya di museum. Parviz bilang ia ada di sana!” Ia berbalik, hendak berlari. Omar dan AKP Ferdy juga sama. Tak satu pun ingat jika Menteri Pendidikan itu belum ditemukan.

“Tidak usah, Kenzie! Kami sudah menemukannya. Ia dalam keadaan terhipnotis sehingga tidak bisa memberikan perlawanan. Parviz mengurungnya di penjara bawah tanah museum. Beruntungnya, kami tidak terlambat,” ujar sebuah suara. Kenzie mengedarkan pandangan, mencari sumbernya.

Ia lantas menemukan Mikasa dan Iptu Maya tidak jauh dari sana. Mereka memapah Pak Menteri. “Maaf kami tidak bisa membantu kalian melawan Parviz. Saat sampai, aku dan AKP berpencar. Ia sepertinya berjumpa dengan Omar tidak lama kemudian. Sementara itu, aku dan Mikasa bertemu, masuk ke dalam museum bersama. Lalu, saat itulah aku melihat segalanya,” jelas Iptu Maya.

“Benar sekali. Maaf jadi tidak membantu, Kenzie. Menghilangkan hipnotis pada Pak Menteri cukup susah. Entah mantra apa yang Parviz gunakan.” Mikasa melengkapi.

“Tidak mengapa. Kau baik-baik saja, bukan?”

Mikasa mengangguk.

“Oh, Iptu Maya, bagaimana kau dan AKP bisa datang ke sini? Lalu, dari mana kalian tahu kami tidak bersalah?” Kenzie bertanya penasaran.

“Aku mendapat pesan dari Briptu Nataprawira, diberi tahu bahwa kalian akan kemari. Menteri Pendidikan juga katanya sedang dalam bahaya, ia membutuhkan bantuan. Yah, alhasil kami datang. Soal bagaimana tahu kalian tidak bersalah tentu saja karena bukti-bukti yang dikemukakan Pak Komisaris tidak masuk akal. Lantas, fakta bilik perenungan dan organisasi Vrijmetselarij membuatku sadar. Yang paling utama karena kami berdua mendapat hasil forensik dan uji balistik. Pada mayat dalam koper dan ruang bawah tanah Kantor Pusat Kimia Farma tidak didapatkan sidik jari kalian.” Iptu Maya menguraikan.

AKP Ferdy membuka suara. “Benar sekali. Hasil forensik juga menyatakan mayat yang terbakar bukan kau, Guru Kenzie. Lantas, Agen Sambara memberitahuku detail segalanya tak lama kemudian. Aku harus minta maaf karena sempat mengejarmu.”

Kenzie melambaikan tangan, tidak mempersalahkan hal tersebut. Ia tersenyum bangga. Menatap wajah-wajah kawannya, Iptu Maya, AKP Ferdy, dan Komisaris Zaenal. Malam ini segalanya tuntas. Pelaku dari pembunuhan pejabat telah ditangkap. Pendidikan di negara ini bisa diselamatkan. Dogma persaudaraan Mason dapat dibendung. Ia sungguh senang, kini bisa mengunjungi makam ayah dan ibu dengan hati lapang.

Mereka semua berlalu meninggalkan museum. Sisa pertempuran masih terlihat di sana-sini. Itu adalah harga dari kemenangan yang mereka kantongi. Setidaknya, stabilitas bangsa masih terjaga. Setiap orang bisa tidur dengan tenang tanpa tahu apa yang terjadi.

Jamur Busuk Negara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang