Bab 17: Danau Seribu Warna

10 5 0
                                    

Merunut jejak mobil, AKP Ferdy bersama Iptu Maya menggali lebih dalam lingkar pertemanan Briptu Omar dan Guru Kenzie. Mereka berdua yakin orang yang membantu para tersangka kabur memiliki kedekatan emosional. Oleh karenanya dua perwira itu menyambangi Pondok Kelapa.

Kompleks pertokoan di pinggir Jalan Taman Malaka Selatan menggeliat cepat sejak dua puluh tahun terakhir. Ruko samping Kedai Suntiang kini sudah bertingkat tiga. Bisnis perhiasan sang pemilik berjalan sukses dan manjur. Kasus pencurian masa lalu justru berakibat baik bagi kompleks.

Siang ini, hanya Kedai Suntiang yang tutup. Akp Ferdy memarkir mobil di halaman depan kedai, Iptu Maya memeriksa catatan. Dokumen para pemilik ruko sudah lebih dulu mereka dapatkan. Daftar nama dan bahkan anggota keluarga tercantumkan. Informasi lengkap tersebut akan mereka gunakan untuk menelusuri masa kecil Kenzie.

Jujur saja, kenapa Iptu Maya memilih Kedai Suntiang ketimbang rumah di kampung karena Kenzie lebih banyak menghabiskan waktu di sini. Sepulang sekolah sang guru datang ke kedai, membantu hal remeh-temeh. Katanya, ia juga sering mengajak kawan-kawannya datang. Itu tidak bisa dilewatkan. Informasi ini Iptu Maya dapatkan dari cerita Briptu Nataprawira dahulu.

"Permisi, Bu." AKP Ferdy menyapa pemilik ruko kelontong sebelah kedai. Seorang wanita paruh baya berdiri dari duduknya melihat kedatangan sang perwira. "Maaf mengganggu waktunya. Kami dari kepolisian, hendak bertanya tentang pemilik Kedai Suntiang dan keluarganya. Apakah ibu berkenan membantu?"

"Oh, boleh. Apa yang ingin kalian tanyakan? Kepentingan seperti apa yang membuat kalian melakukan ini?" balas ibu pemilik ruko. Ia mengambil dua kursi, mempersilakan tamunya duduk.

"Ah, ya, kami sedang dalam penyelidikan sebuah kasus. Informasi ini sangat kami perlukan untuk merekonstruksi seluruh kejadian dan keterkaitan. Untuk itu, bisa kita mulai dari profil pemilik Kedai Suntiang menurut sepengetahuan ibu?" AKP Ferdy menerangkan. Iptu Maya di sampingnya mengeluarkan buku catatan mini, siap merangkum.

Ibu pemilik ruko mengangguk. Tubuh gempalnya mengeluarkan keringat, ia beringsut menyalakan kipas kecil di sebelah kanannya. "Kedai Suntiang dibuka lima bulan setelah toko kelontong ini berdiri. Waktu itu tahun ... ah, ibu lupa tahun berapa? Sang pemilik, Uda Badruzzaman, adalah lelaki gesit sekaligus penyabar keturunan asli Minang. Istrinya, atau yang biasa ibu panggil Neng Irma, dulunya dara dari dataran Sunda. Siapa pun di lingkungan ini mengenal mereka.

"Warung nasi padang tak terhitung jumlahnya di ibu kota. Dari restoran besar hingga warung-warung kecil pinggir jalan. Kalian tahu? Uda memiliki keahlian memasak yang unik, cita rasanya tak terkalahkan di lingkungan ini. Tak jarang ia menggabungkan resep masakan Minang dan Sunda, mengembangkannya jadi menu baru. Hebatnya lagi, uda sering membagikan makan gratis kepada kami. Lelaki itu terkenal baik di sini. Akrab pada siapa saja."

Kondisi ruko yang sesak oleh barang membuat sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik. Pegawai toko datang, menghidangkan dua botol minuman dingin sembari mencuri pandang pada Iptu Maya dan AKP Ferdy.

"Silakan diminum. Maaf, di sini pasti panas sekali." Ibu pemilik ruko tersenyum kikuk melihat dua tamunya.

"Baik. Tidak masalah, Bu," lirih Iptu Maya. Ia kembali melanjutkan pertanyaan, "Lalu, anak Lelaki mereka bernama Kenzie, benar? Apakah Ibu juga mengenalnya dengan baik?"

Iptu Maya masuk pertanyaan inti, dan ibu pemilik ruko sesuai harapan, menjawab semuanya dengan rinci. "Sudah sepatutnya kami mengenal baik Nak Kenzie. Anak itu harus diacungi jempol. Selain begitu telaten membantu orang tuanya, ia juga banyak membanggakan. Biar ibu beri tahu kalian, dua puluh tahun silam, Nak Kenzie dan teman-temannya berandil besar dalam kasus pencurian. Mereka berhasil menangkap basah pelakunya. Menyelamatkan kami dari kerugian besar. Semenjak itu, ia akrab dengan seluruh pedagang di sini."

Jamur Busuk Negara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang